Koalisi Serikat Pekerja Desak Permenaker, Nilai SE Larangan Diskriminasi Usia Tidak Efektif

JAKARTA – Sebanyak 67 serikat pekerja tingkat nasional bersama organisasi kerakyatan yang tergabung dalam Koalisi Serikat Pekerja menyatakan ketidakpuasan terhadap Surat Edaran (SE) Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) yang melarang pencantuman batas usia dalam proses rekrutmen tenaga kerja.
Mereka menilai, regulasi tersebut tidak memiliki kekuatan hukum yang memadai dan hanya bersifat imbauan.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) sekaligus Presiden Partai Buruh, Said Iqbal, menyebut bahwa SE bukan instrumen hukum yang mengikat.
Akibatnya, perusahaan tidak memiliki kewajiban hukum untuk menaatinya.
“Larangan diskriminatif seperti syarat usia, penampilan menarik, tinggi badan, dan agama sebenarnya sudah pernah dicanangkan 20 tahun lalu melalui SE. Namun sampai hari ini tetap diabaikan karena tidak ada sanksi atau kewajiban hukum yang jelas,” ujar Iqbal dalam konferensi pers, Minggu (1/6/2025).
Ia menegaskan bahwa Kemenaker semestinya menerbitkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) agar ketentuan tersebut dapat ditegakkan secara hukum.
Menurutnya, hanya melalui regulasi resmi dan pemberian sanksi tegas, praktik diskriminatif dalam dunia kerja bisa ditekan.
Iqbal mengakui bahwa dalam industri tertentu, seperti penerbangan atau mode, syarat khusus masih dapat diterima secara terbatas.
Namun, ia menekankan bahwa syarat tersebut tetap harus mendapatkan persetujuan dari Kemenaker dan tidak boleh diberlakukan secara serampangan.
“Di luar sektor-sektor khusus tersebut, praktik diskriminatif ini harus dilarang, termasuk di instansi negara seperti BUMN, PNS, dan BUMD, yang justru sering menerapkan batas usia dalam rekrutmen. Ini jelas bertentangan dengan UUD 1945 dan Undang-Undang Ketenagakerjaan,” tegasnya.
Hal senada disampaikan Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPIRASI), Mirah Sumirat.
Ia menyayangkan sikap Kemenaker yang hanya mengeluarkan surat edaran tanpa memberikan dasar hukum yang kuat dan sanksi yang jelas.
“Kami bingung dengan pendekatan setengah hati ini. Sudah terbukti, surat edaran soal THR saja yang disertai ancaman sanksi masih sering diabaikan. Apalagi SE tanpa sanksi, tentu tidak akan punya efek jera,” ucap Mirah.
Mirah berharap agar Kemenaker segera menindaklanjuti SE tersebut menjadi aturan hukum yang lebih tinggi, yaitu dalam bentuk Permenaker, agar tidak lagi menjadi ‘macan kertas’ yang tak mampu mengubah praktik diskriminatif dalam proses ketenagakerjaan. []
Nur Quratul Nabila A