Komnas Perempuan: 267 Perempuan Jadi Korban TPPO Sejak 2020

JAKARTA — Transformasi modus perdagangan orang kian kompleks dan sulit dikenali, terutama karena penggunaan teknologi digital yang semakin masif.

Laporan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menunjukkan bahwa perempuan menjadi kelompok paling rentan dalam jaringan kejahatan ini.

Melalui Catatan Tahunan (CATAHU) 2020–2024, Komnas Perempuan mencatat sebanyak 267 kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dengan perempuan sebagai korban utama.

Data ini menunjukkan adanya pola eksploitasi yang tidak hanya bersifat fisik, namun juga digital dan lintas negara.

“Perdagangan orang, termasuk perempuan, semakin tersembunyi di balik wajah baru eksploitasi digital dan lintas negara,” ujar Komisioner Komnas Perempuan Yuni Asriyanti dalam keterangan tertulis, Kamis (31/7/2025).

Pola eksploitasi yang dimaksud mencakup kerja paksa, eksploitasi seksual, penjualan organ tubuh, pengantin pesanan, serta perekrutan sebagai kurir narkotika internasional.

Dalam dua tahun terakhir, muncul pula modus baru berupa pemaksaan menjadi operator judi daring dan penipu online (scammer), yang kerap menjadikan perempuan sebagai sasaran rekrutmen melalui media sosial, aplikasi perpesanan instan, dan platform lowongan kerja palsu.

Komnas Perempuan menegaskan bahwa negara harus memperkuat respons adaptif terhadap perkembangan modus dan pola TPPO.

“Negara tidak boleh abai. Respons harus adaptif terhadap modus, tujuan, dan pola baru TPPO, serta harus berpihak pada korban, dibangun melalui pengalaman nyata perempuan yang tereksploitasi,” tegas Yuni.

Kekhawatiran lain yang disoroti adalah praktik kriminalisasi terhadap korban TPPO. Tidak sedikit perempuan yang dieksploitasi justru mengalami deportasi atau dipidana akibat persoalan administratif.

Padahal, menurut prinsip internasional Non-Punishment of Victims of Trafficking in Persons, korban tidak semestinya dihukum atas tindak yang terjadi akibat eksploitasi.

“Kriminalisasi terhadap korban perdagangan orang adalah bentuk kekerasan lanjutan. Negara seharusnya menjadi pelindung, bukan justru memperparah luka korban melalui pemidanaan atau deportasi,” ucap Yuni.

Komnas Perempuan mengingatkan bahwa TPPO harus dipahami dalam konteks keadilan gender dan ketimpangan struktural terhadap perempuan.

Oleh karena itu, mereka mendesak negara untuk memperkuat upaya pencegahan melalui regulasi pasar kerja, perlindungan sosial, literasi digital, dan pemulihan korban yang bermartabat dan bebas dari diskriminasi — termasuk bagi korban tanpa dokumen resmi. []

Nur Quratul Nabila A

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *