Korupsi Proyek Jalan Hulu Belayan
Nyaris satu dekade dibangun, digelontor duit ‘bejibun’, tapi lambat sekali selesai. Ini lah proyek pembangunan jalan Kembang Janggut menuju Tabang, di hulu Sugai Belayan yang sarat dengan praktik korupsi. Kontraktornya adalah PT Citra Gading Asritama.
Di website Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar), Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim), tercatat sepuluh paket pekerjaan terkait pembangunan jalan poros dari Desa Kembang Janggut menuju Kecamatan Tabang.
Dua paket pekerjaan dengan total kontrak Rp 444,7 miliar lebih didapat PT Citra Gading Asritama (CGA), kontraktor yang bermarkas di Kota Pahlawan, Surabaya. Satu paket, pembangunan jalan tahap ketiga dari Kelekat (nama desa di Kecamatan Kembang Janggut) menuju Tabang (nama kecamatan di Kukar) bernilai Rp 236 dikerjakan mulai 30 Desember 2011. Yang lainnya adalah paket pembangunan jalan poros Kembang Janggut menuju Kelekat, kontraknya baru ditanda tangani pada 6 Januari 2014. Nilainya Rp 208,6 miliar.
Sementara delapan paket lain untuk pembangunan poros jalan dari Kembang Janggut ke Tabang, berupa studi kelayakan, analisis dampak mengenai lingkungan, perencanaan dan pengawasan. Kemudian satu paket berupa pekerjaan pembangunan jalan poros menuju Bila Talang Kecamatan Tabang dengan nilai Rp 135,9 miliar. Kontraktornya berkantor pusat di Bandung, PT Fajar Parahiyangan. Kontrak kerjanya dimulai 24 Desember 2013.
Pada lama website resmi Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK), CGA mencatat pernah mendapatkan empat paket pekerjaan pembangunan jalan Kelekat menuju Tabang tahap kedua (78 kilometer), dikerjakan 24 April 2008, berakhir 24 April 2010. Nilai totalnya Rp 208,6 miliar. Tahun 2005, CGA juga diketahui memenangkan tender untuk dua paket pekerjaan pembangunan jalan dari Kelekat menuju Tabang. Nilai totalnya Rp 64,4 miliar. Dikerjakan sejak 18 April 2005 dan selesai 27 Desember 2007.
Dari informasi tersebut, sejak tahun 2005 hingga 2013, jalan dari Kelekat menuju Tabang sepanjang 78 kilometer telah menelan biaya Rp 509 miliar. Itu belum termasuk proyek pembangunan jalan dari Kembang Janggut menuju Kelekat. Pada November 2013, Ketua DPRD Kukar Salehuddin menyebut, saat itu proyek Kelekat ke Tabang tinggal 22 kilometer yang belum dibeton.
Kondisi fisik badan jalan sudah agregat atau pasir batu namun belum dibeton. “Insyallah Maret 2015 lintas Belayan sudah selesai, seiring dengan berakhirnya jabatan Bupati Rita Widyasari priode 2010-2015,” ujar Salehudin yang dilahirkan di Desa Penoon, Kembang Janggut, sebuah kampung yang terletak di tepi Sungai Belayan ini.
Proyek jalan Kelekat menuju Tabang ini banyak menarik perhatian publik. Bukan saja masyarakat di Kembang Janggut dan Tabang yang mempertanyakan, bahkan ada Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang pernah melaporkan dugaan korupsi proyek itu ke Kejaksaan Agung (Kejagung) Republik Indonesia (RI) pada Oktober 2012 lalu.
LSM tersebut bernama Indonesian Corruption Investigation (ICI) Badan Pekerja Wilayah (BPW) Kaltim. Menurut laporan lembaga yang dipimpin Sadri M. Armand itu, ada sejumlah kejanggalan yang menjadi indikasi bahwa dalam proyek itu telah terjadi korupsi.
Indikasi pertama, rekanan pemerintah yang selalu memenangkan lelang adalah CGA. Sejak tahun 2005, CGA selalu sukses mendapatkan pekerjaan Kelekat-Tabang, meskipun perusahaan tersebut punya banyak pekerjaan di daerah lain. Kontrak pertamanya bernomor 600-6021/APBD/IV/2005 dengan judul pembangunan/pembukaan jalan dengan panjang 70 kilometer.
Dan kontrak keduanya di tahun 2008 bernomor 680/620/IV/2008 dengan judul pekerjaan pembangunan jalan pada ruas Kelekat menuju Tabang. Terakhir kontraknya tertanggal 30 Desember 2011 dengan judul pekerjaan pembangunan jalan dari Kelekat menuju Tabang tahap III, Kecamatan Tabang.
Kejanggalan kedua, pekerjaan awal pembangunan/pembukaan jalan tersebut, ternyata tak pernah selesai dan hanya sampai ke Desa Bukit Layang, Kecamatan Kembang Janggut. Panjangnya hanya sekitar 8 kilometer. Jalan dari Kelekat menuju Tabang, pada saat tim dari ICI BWP Kaltim memonitor di tahun 2009, belum sama sekali tembus ke Tabang.
Tanda korupsi ketiga, walaupun pekerjaan tak selesai, namun rekanan tetap sukses menagih pembayaran. Berdasarkan bukti-bukti Surat Perintah Membayar Uang (SPMU) dan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D), bahkan ada kelebihan pembayaran. Dari nilai kontrak tahap pertama Rp 64,4 miliar, yang dibayarkan Rp 70,6 miliar. Pada kontrak tahap kedua, 272,1 miliar, sementara yang dibayarkan Rp 286,3 miliar.
Untuk proyek tahap pertama, pencairannya meliputi SPMU nomor 2486/BP/2006 dengan nilai pembayaran Rp 9 miliar tertanggal 14 November 2006. Lalu SPMU nomor 2726/BP/2006 dengan nilai Rp 24,9 miliar tertanggal 21 November 2006. SP2D ketiga bernomor 0098 dengan nilai Rp10 miliar tertanggal 24 Mei 2007. Keempat, SP2D nomor 4520 tertanggal 24 Agustus 2007 dengan nilai Rp 9,6 miliar. SP2D selanjutnya nomor 13720 tertanggal 12 Desember 2007 dicairkan sebesar Rp 9,3 miliar lebih. Terakhir SP2D nomor 0067 tertanggal 15 April 2008 dengan nilai Rp 7,04 miliar lebih yang dicairkan.
Pada proyek tahap kedua yang kontraknya tertanggal 24 April 2008, juga terjadi kelebihan pembayaran. Bahkan hanya sekitar sebulan setelah kontrak ditandatangani, uang senilai Rp 54,4 miliar sudah berhasil ‘dibobol’ dari kas daerah. Itu terbukti dengan keluarnya SP2D nomor 0269 tanggal 2 Juni 2008.
Selanjutnya SP2D kedua tertanggal 02 desember 2008 dengan nilai Rp 31,7 miliar. Lalu pada 12 Agustus 2009, SP2D ketiga turun dengan nilai Rp 40,68 miliar. SP2D keempat, tertangga 4 November 2009 dengan nilai Rp 62,2 miliar. Lalu tahun 2010, dengan nomor SP2D tertanggal 13 Agustus, uang Rp 28,2 miliar kembali dicairkan. SP2D keenam bernomor 11015, senilai Rp 25,06 miliar dibuat pada 15 Desember 2010. SP2D selanjutnya tertanggal 13 Juni 2011, bernomor 01066, dengan nilai Rp 12,2 miliar. Lalu pencairan terakhir dibuat di 2011 juga dengan nilai Rp 31,69 miliar.
Indikasi keempat, dengan pencairan Rp 70,6 miliar hingga April 2008, CGA seharusnya telah merampungkan pekerjaan pembukaan jalan menuju Tabang. Faktanya, sebelum tahun 2010 CGA hanya membuka badan jalan sepanjang 8 kilometer. Pada 2010 hingga 2011, kontraktor masih tampak mengerjakan badan jalan dari Bukit Layang ke Desa Bukit Pinang. Masih di Kembang Janggut. Sementara proyek tahap kedua yang menyedot duit rakyat Rp 286,3 miliar, juga tak jelas realisasinya.
Kejanggalan kelima, proyek pembukaan jalan diduga tumpang tindih dengan jalan yang beberapa tahun sebelumnya telah dibuka perusahaan kayu dan kelapa sawit di daerah itu. Sebagian badan jalan memang ada yang dibuka oleh CGA, tetapi banyak bagian badan jalan lain telah dibuka perusahaan kayu dan sawit.
“Yang jelas, PT Citra Gading Asritama mengerjakan pembukaan jalan yang sebenarnya sudah ada sebelumnya. Jalan itu dibangun perusahaan sawit dan perusahaan kayu,” ungkap Armand kepada wartawan.
Menurut dia, seharusnya pada tahap awal pekerjaan, badan jalan sudah selesai dibangun dan diberi agregat. Namun pada saat LSM yang dipimpinnya kembali melakukan monitoring dan evaluasi pada 4-5 Agustus 2012, badan jalan terlihat tak dihampari pasir batu, melainkan rerumputan hijau. Hal tersebut terlihat di badan jalan yang berada di Desa Kelekat.
Masih dalam catatan ICI BWP Kaltim, di sepanjang Kelekat menuju Tabang, ada proyek pembangunan 18 jembatan yang dikerjakan PT Hutama Karya. Nilai paket pekerjaannya Rp 113,6 miliar dengan nomor kontrak 683/620/IV/2008. Dari Juni 2008 hingga Desember 2011, kontraktor telah mendapat guyuran uang dengan total Rp 98,3 miliar.
Namun pada saat tim dari ICI BPW Kaltim melakukan monitoring dan evaluasi ke lokasi proyek pada 4 Agustus 2012, masih terdapat enam jembatan yang belum selesai dikerjakan, dua jembatan berkategori besar dan empat lainnya kecil. Keenam jembatan berlokasi di Desa Kelekat dan Bukit Layang.
HARUS DIAUDIT
Sementara Ketua Lembaga Investigasi dan Pemberantasan Praktik Rasuah (LIBAS) Gerakan Pemuda (GP) Ansor Kukar, Nuralim, memandang perkara dugaan korupsi atas proyek pembangunan jalan dari Kembang Janggut menuju Tabang, bukan kasus yang mudah untuk diungkap. Dengan bermodal bukti pencairan dana dan foto pada saat investigasi, juga belum cukup.
Terlebih untuk mengungkapnya memerlukan biaya besar karena waktu tempuh ke lokasi yang lama. “Proyek-proyek di daerah pedalaman rawan menjadi bancakan koruptor. Itu karena sulitnya pengawasan karena lokasi jauh. Sementara masyarakat setempat, belum didukung sikap kritis dan pengetahuan yang memadai,” papar Nuralim.
Namun demikian, pihaknya kini tengah menjadikan proyek jalan Kembang Janggut ke Tabang sebagai salah satu kasus yang harus disupervisi. “Terlebih pemenang tender pekerjaan proyek ini didominasi PT Citra Gading Asritama, yang menurut kami sudah termasuk perusahaan yang sudah patut masuk daftar hitam,” kata Nuralim.
Proyek pembukaan dan pembangunan jalan dari Kembang Janggut menuju Tabang, diketahui mulai dikerjakan sejak tahun 2005 hingga 2014 ini masih berjalan. Dan setiap kali paket ditenderkan, CGA lah pemenangnya.
“Jadi data-data yang dikumpulkan harus sejak proyek ini dikerjakan. Ini tidak mudah, hanya lembaga yang punya wewenang khusus yang bisa mengauditnya. Karena itu, kami akan meminta secara resmi ke Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk memeriksa, apakah proyek ini benar-benar bersih. Ini penting untuk menjawab tudingan masyarakat,” ungkap Nuralim.
Soal ketidakberesan proyek Kembang Janggut ke Tabang sebenarnya juga dirasakan sejumlah anggota DPRD Kukar. Pada Februari 2006, hampir setahun setelah proyek itu dimulai pada April 2005, tim teknis dari Dinas Pekerjaan Umum (DPU) Kukar yang saat itu diwakili Herdianto A, pernah mempresentasikan rencana realisasi yang dijanjikan rampung tahun 2009.
Dalam perencanaannya, jalan Kelekat-Tabang menggunakan kelas jalan II. Sesuai peraturan Bina Marga 038/T/BM/1997 dengan karateristik, lebar jalan 7 meter (2 arah – 2 lajur), bahu jalan 2 meter, untuk beban maximum kendaraan 10 ton, daerah milik jalan 15 meter dan asumsi lalu lintas harian rata-rata pada akhir umur rencana 10.001-25.000.
Adapun biaya yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pembukaan dan pembangunannya, DPU menawarkan dua alternatif. Yang pertama menelan biaya sebesar Rp 330,08 miliar via samping Sungai Belayan. Sedangkan untuk alternatif kedua ditawarkan via jalan logging sebesar Rp 298,96 miliar dan via samping jalan logging menelan biaya Rp 321,61 miliar.
Tapi itu hanya perencanaan yang cuma bikin mimpi, nyatanya hingga sekarang proyek tersebut telah menelan biaya di atas Rp 1 triliun, dari pembukaan, pembangunan jembatan hingga pengecoran. Waktu pelaksanaan pekerjaannya pun, tak selesai di tahun 2009 dan hingga sekarang masih berjalan dengan progress yang sangat lambat.
Pada Juni 2008, sejumlah anggota Komisi II DPRD Kukar Periode 2005-2009, yakni Abdul Sani, Setia Budi, Zainudinsyam, Hermain, Salehudin dan Sarifuddin meninjau proyek yang dikerjakan CGA. Saat itu Abdul Sani menyebut proyek jalan dengan panjang 70 kilometer dan lebar 25 meter tersebut dikerjakan dengan lambat dan ia berharap agar dapat segera diselesaikan.
“Jangan diperlambat, sebagai penduduk asli Tabang, saya banyak mendapat laporan dari masyarakat terkait pengerjaan jalan ini yang lambat. Saya mengharapkan agar jalan yang dibuat PT Citra Gading agar dipercepat dalam penyelesaiannya di lapangan,” ujar Abdul Sani kepada manajemen perusahaan saat inspeksi.
Rupanya warning anggota dewan di periode itu tak mendapat respon baik dari pihak kontraktor. Buktinya, pada pertengahan Januari 2010, Zainudin Arhap, anggota DPRD Kukar yang baru terpilih, juga menyorot kinerja kontraktor yang lelet. Bahkan ia menegaskan agar proyek yang dikerjakan dihentikan dan meminta uang proyek agar tak dibayarkan. Lebih baik digunakan untuk kegiatan lain.
Zainudin Arhap menyebut CGA selaku kontraktor terlalu santai dalam bekerja. “Anggaran terlalu besar dan kontraktornya tak serius untuk menyelesaikan pengerjaanya. Lebih baik pengerjaanya distop dan anggaran digunakan untuk kepentingan masyarakat yang mendesak,” ujarnya kepada wartawan.
Zainudin Arhap juga menyorot proyek pembangunan 18 buah Jembatan Kelekat-Tabang yang dianggarkan Rp 75 miliar juga disorot. Saat itu ia mengetahui, dari total anggaran proyek, sebesar Rp 20 miliar telah dicairkan kontraktor, namun ketika dilakukan inspeksi, tak satu pun jembatan yang dikerjakan.
Zainudin Arhap sempat mengacam, jika tak segera diselesaikan, proyek tersebut akan diaudit. Lalu apakah kontraktor takut? Tampaknya tidak. Empat tahun berlalu, anggota DPRD Kukar lainnya, Guntur kembali menyorot proyek Kelekat-Tabang dengan masalah serupa, kontraktor lambat mengerjakan. Itu ditegaskan Guntur saat melakukan kunjungan kerja ke lokasi proyek pada April 2014 lalu.
Dikatakan Guntur, proyek jalan Kelekat ke Tabang sudah memasuki tahap ketiga dan kontraktor yang kembali memenangkan tender tetap CGA. Namun dalam pelaksanaan pekerjaannya, kontraktor hanya menggunakan 1 unit doozer dan 1 unit excavator. Belakangan baru diketahui Guntur, persoalan yang membuat kontraktor lambat bekerja karena persoalan finansial.
18 JEMBATAN FIKTIF