Korut Murka, Jepang Disebut Melampaui Garis Merah Nuklir
JAKARTA – Wacana kepemilikan senjata nuklir di Jepang kembali memicu ketegangan kawasan Asia Timur. Korea Utara secara terbuka mengecam keras pernyataan pejabat Jepang yang menyarankan agar Tokyo memiliki senjata nuklir sendiri. Reaksi keras Pyongyang ini memperlihatkan betapa sensitifnya isu nuklir di kawasan yang telah lama dibayangi sejarah konflik, trauma perang, dan rivalitas geopolitik.
Dilansir AFP, Minggu (21/12/2025), kecaman Korea Utara muncul setelah seorang pejabat di kantor Perdana Menteri Jepang, yang dikutip Kyodo News, menyatakan, “Saya pikir kita harus memiliki senjata nuklir.” Pejabat tersebut disebut terlibat dalam perumusan kebijakan keamanan Jepang dan menilai kepemilikan nuklir sebagai langkah strategis menghadapi dinamika ancaman global.
Dalam laporan yang sama, sumber tersebut juga menyebut, “Pada akhirnya, kita hanya bisa mengandalkan diri kita sendiri,” saat menjelaskan alasan di balik perlunya Jepang memiliki kemampuan penangkal nuklir. Pernyataan ini langsung menyedot perhatian internasional, mengingat Jepang selama puluhan tahun memegang prinsip nonnuklir sebagai fondasi kebijakan keamanannya.
Pyongyang menilai pernyataan tersebut sebagai sinyal berbahaya. Korea Utara menyebut Tokyo telah “secara terbuka mengungkapkan ambisi mereka untuk memiliki senjata nuklir, melampaui garis merah.” Dalam pandangan Korut, langkah tersebut berpotensi mengancam stabilitas kawasan dan membuka babak baru perlombaan senjata di Asia.
“Upaya Jepang untuk memiliki senjata nuklir harus dicegah dengan segala cara karena akan membawa bencana besar bagi umat manusia,” kata Direktur Institut Studi Jepang di bawah Kementerian Luar Negeri Korea Utara dalam pernyataan yang dimuat Kantor Berita Pusat Korea (KCNA).
Korea Utara juga menyinggung sejarah penjajahan Jepang di Semenanjung Korea sebagai alasan kuat kekhawatiran mereka. Menurut Pyongyang, Jepang yang dipersenjatai nuklir berpotensi memicu penderitaan luas di Asia. Pejabat Korut yang tidak disebutkan namanya menegaskan, “Ini bukan pernyataan yang salah atau klaim yang gegabah, tetapi jelas mencerminkan ambisi Jepang yang telah lama diidam-idamkan untuk mempersenjatai diri dengan senjata nuklir.”
Meski lantang mengkritik Jepang, pernyataan Korea Utara tidak menyinggung program nuklirnya sendiri. Pyongyang tercatat melakukan uji coba nuklir pertama pada 2006 yang melanggar resolusi Dewan Keamanan PBB. Saat ini, Korut diyakini memiliki puluhan hulu ledak nuklir dan tetap bersikukuh mempertahankannya meski dihantam sanksi internasional.
Dalam pidato di PBB pada September lalu, Wakil Menteri Luar Negeri Korea Utara Kim Son Gyong menegaskan, “Kami tidak akan pernah menyerahkan senjata nuklir yang merupakan hukum negara kami, kebijakan nasional, dan kekuasaan kedaulatan kami serta hak untuk hidup. Dalam keadaan apa pun, kami tidak akan pernah meninggalkan posisi ini.” Sikap serupa juga disampaikan Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un, yang menyatakan terbuka berdialog dengan Amerika Serikat asalkan Pyongyang diizinkan mempertahankan arsenal nuklirnya.
Sementara itu, di Jepang sendiri, wacana nuklir memicu perdebatan tajam. Dilansir DW, diskursus mengenai peninjauan kebijakan keamanan nasional menguat sejak November 2025, terutama terkait kemungkinan penghapusan tiga prinsip nonnuklir: tidak memiliki, tidak memproduksi, dan tidak mengizinkan senjata nuklir masuk ke wilayah Jepang.
“Tiga prinsip nonnuklir merupakan kebijakan nasional dasar yang didasarkan pada konsensus nasional,” kata Akira Kawasaki dari NGO Peace Boat. Ia menilai pergeseran sikap pemerintah akan mencederai komitmen Jepang sebagai negara damai.
Kontroversi semakin menguat ketika Perdana Menteri Sanae Takaichi menolak menegaskan komitmen pada prinsip tersebut di parlemen. Pernyataan elite Partai LDP bahwa semua opsi keamanan akan dibahas tanpa tabu turut memicu kecemasan publik, terutama di kalangan korban bom atom Hiroshima dan Nagasaki.
Ketegangan ini menunjukkan bahwa isu nuklir bukan sekadar persoalan pertahanan, melainkan simbol trauma sejarah, etika kemanusiaan, dan arah masa depan keamanan kawasan Asia Timur. []
Siti Sholehah.
