KPK Soroti 17 Poin Masalah dalam RUU KUHAP, Tegaskan Risiko Pelemahan Kewenangan

JAKARTA — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyampaikan keberatan terhadap sejumlah ketentuan dalam Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP), yang dinilai berpotensi melemahkan kewenangan lembaga antirasuah itu.
Dalam keterangannya kepada media, Juru Bicara KPK Budi Prasetyo mengungkapkan bahwa pihaknya menemukan setidaknya 17 permasalahan krusial dalam RUU KUHAP yang tidak selaras dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK.
“Dalam perkembangan diskusi di internal KPK, setidaknya ada 17 poin yang menjadi catatan, dan ini masih terus kami diskusikan,” ujar Budi di Gedung Merah Putih KPK, Rabu (16/7/2025).
Poin pertama yang disoroti KPK adalah hilangnya kekhususan lembaga itu sebagai lex specialis dalam penanganan tindak pidana korupsi.
Di samping itu, ketentuan dalam RUU KUHAP mewajibkan penyelesaian perkara oleh KPK hanya berdasarkan KUHAP, mengesampingkan prosedur khusus yang berlaku bagi KPK.
Selanjutnya, RUU KUHAP juga tidak mengakui eksistensi penyelidik KPK, karena hanya mencantumkan penyelidik dari kepolisian dan berada di bawah pengawasan penyidik Polri. Ini dinilai bertentangan dengan struktur kelembagaan KPK yang independen.
RUU tersebut juga mengubah definisi penyelidikan hanya sebagai proses untuk menemukan peristiwa pidana, berbeda dengan sistem KPK yang menekankan pada pengumpulan sekurang-kurangnya dua alat bukti.
KPK juga mencatat perbedaan dalam pengakuan keterangan saksi. Dalam RUU KUHAP, alat bukti baru diakui sejak tahap penyidikan, sedangkan KPK telah mengakui keterangan saksi sebagai alat bukti sejak penyelidikan.
“Penetapan tersangka menurut RUU KUHAP hanya bisa dilakukan setelah terkumpul dua alat bukti, sedangkan KPK bisa menetapkan tersangka saat suatu perkara naik dari penyelidikan ke penyidikan,” jelas Budi.
Selain itu, sejumlah ketentuan prosedural dalam RUU KUHAP dinilai bisa membuka peluang intervensi lembaga lain terhadap independensi KPK.
Misalnya, penghentian penyidikan yang menurut RUU KUHAP harus melibatkan penyidik Polri, berbeda dengan KPK yang dapat menghentikan penyidikan secara mandiri dan melaporkannya kepada Dewan Pengawas.
Penyerahan berkas perkara juga dipersyaratkan melalui penyidik Polri, padahal KPK memiliki mekanisme sendiri untuk melimpahkan berkas ke penuntut umum internal.
Penggeledahan terhadap tersangka pun harus didampingi penyidik dari wilayah hukum setempat, yang tidak sesuai dengan praktik KPK selama ini.
Terkait penyitaan dan penyadapan, RUU KUHAP mewajibkan izin dari Ketua Pengadilan Negeri dan membatasi penyadapan hanya di tahap penyidikan.
Ini berpotensi menghambat kerja KPK yang selama ini melakukan penyadapan sejak tahap penyelidikan berdasarkan izin internal Dewan Pengawas.
RUU KUHAP juga membatasi larangan bepergian keluar negeri hanya untuk tersangka, bukan saksi atau pihak lain yang berpotensi menghilangkan barang bukti.
Selain itu, tindak pidana korupsi tidak bisa disidangkan selama masih dalam proses praperadilan, yang bisa menjadi celah penghambat penuntasan kasus.
Kewenangan KPK dalam menangani perkara koneksitas juga tidak disebutkan dalam draf revisi tersebut.
Padahal, koneksitas penting dalam kasus korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum atau militer.
KPK juga menyoroti pembatasan perlindungan terhadap saksi dan pelapor hanya oleh LPSK.
Padahal, berdasarkan UU KPK, lembaga ini dapat memberikan perlindungan secara langsung terhadap pelapor dan saksi tindak pidana korupsi.
Dalam hal penuntutan, RUU KUHAP menyebut bahwa penuntut umum hanya berasal dari pejabat kejaksaan dan lembaga tertentu.
KPK mengusulkan agar penuntut umum dari KPK disebutkan secara eksplisit, mengingat jaksa KPK ditugaskan dan diangkat secara independen untuk menjalankan fungsi penuntutan di seluruh wilayah Indonesia. []
Nur Quratul Nabila A