Kuasa Hukum Dorong Kasus Dugaan Eksploitasi Pemain Sirkus OCI Diadili Melalui Pengadilan HAM

JAKARTA — Kuasa hukum mantan pemain sirkus Oriental Circus Indonesia (OCI), Muhammad Sholeh, menyerukan agar kasus dugaan eksploitasi dan kekerasan yang dialami kliennya diproses melalui mekanisme Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM). Ia menilai, penggunaan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM adalah jalan paling tepat demi menegakkan keadilan bagi para korban.

“Sejarah kelam ini harus mendapat tempat yang adil dalam sistem hukum kita. Undang-Undang Pengadilan HAM tidak mengenal kedaluwarsa, dan itu membuka jalan agar kasus lama seperti ini tetap bisa diproses,” ujar Sholeh dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) bersama Komisi III DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (22/4/2025).

Rapat tersebut turut menghadirkan perwakilan dari pemain sirkus OCI, pihak Taman Safari Indonesia, serta Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Jawa Barat, Kombes Pol Surawan. Sholeh menyebut, klien-kliennya merasa belum memperoleh keadilan, terutama karena pihak OCI hingga kini tidak mengakui telah melakukan kekerasan ataupun eksploitasi terhadap para pemain sirkus yang direkrut sejak usia anak-anak.

“Kami tidak menolak apabila ada iktikad baik dari OCI atau Taman Safari untuk menyelesaikan persoalan ini. Namun, jika melihat pernyataan mereka di media yang terkesan menyangkal, jelas hal itu sangat melukai para korban,” katanya.

Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa kendati bukti kekerasan fisik mungkin sulit ditemukan, ada fakta lain yang dapat memperkuat dugaan pelanggaran HAM berat, seperti pemisahan anak dari orang tua dan praktik kerja paksa selama bertahun-tahun.

“Anak-anak ini diambil dari orang tuanya dalam usia sangat belia, dilatih keras, dan tidak mendapatkan pendidikan layak. Itu saja sudah cukup untuk membuktikan adanya pelanggaran HAM berat,” tegas Sholeh.

Ia juga mengungkapkan bahwa laporan pertama kasus ini pernah dilayangkan pada tahun 1997, namun dihentikan oleh kepolisian pada 1999 tanpa pemberitahuan resmi kepada pelapor. Oleh sebab itu, ia meminta agar DPR RI melalui Komisi III tidak hanya mengandalkan pendekatan hukum positif, melainkan mendorong penggunaan mekanisme hukum luar biasa, seperti Pengadilan HAM.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Sahroni menyampaikan rekomendasi agar penyelesaian dilakukan secara kekeluargaan dalam waktu tujuh hari. Namun ia menegaskan bahwa Komisi III siap mengawal jika kasus tersebut kembali dilaporkan ke kepolisian.

“Jangan mentang-mentang sudah kedaluwarsa lalu tidak ada upaya apa pun. Kita kasih waktu tujuh hari untuk duduk bersama. Kalau tidak selesai, silakan dilaporkan lagi, dan kami akan pantau prosesnya,” ucap Sahroni.

Kasus ini pun telah mendapat perhatian dari Komnas HAM yang sebelumnya meminta agar seluruh proses penyelesaian dilakukan secara hukum, dengan tetap memperhatikan hak-hak korban. []

Nur Quratul Nabila A

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *