Laporan KontraS: 182 Korban Kekerasan oleh Prajurit TNI dalam Setahun

JAKARTA – Laporan tahunan Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) kembali menyoroti praktik kekerasan yang melibatkan prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI). Data terbaru menunjukkan bahwa insiden kekerasan tidak hanya terpusat di wilayah tertentu, melainkan menyebar dari Aceh di ujung barat hingga Papua di timur Indonesia.
Koordinator KontraS, Dimas Bagus Arya, mengungkapkan temuan tersebut dalam konferensi pers di Kantor KontraS, Jakarta Pusat, Jumat (03/10/2025). “Kekerasan yang dilakukan oleh prajurit TNI itu tersebar mulai dari Aceh sampai dengan Papua,” ujarnya.
Menurut Dimas, luasnya jangkauan kasus kekerasan tak lepas dari ekspansi kelembagaan TNI di berbagai daerah. Papua, kata dia, masih menjadi wilayah dengan jumlah kasus tertinggi. Dalam setahun terakhir, KontraS mencatat 23 peristiwa kekerasan di Papua dengan 67 warga sipil menjadi korban.
“Papua ini masih menjadi episentrum kekerasan yang dilakukan aparat keamanan maupun pertahanan Republik Indonesia,” tambahnya.
Namun, korban tidak hanya berasal dari kalangan masyarakat sipil. Catatan KontraS juga menunjukkan bahwa 5 prajurit TNI dan 13 anggota Polri turut menjadi korban dalam insiden serupa. Hal ini menandakan bahwa pendekatan keamanan yang diterapkan bukan hanya membahayakan keselamatan warga, tetapi juga berisiko terhadap aparat di lapangan.
“Pendekatan keamanan ini bukan hanya mengancam kebebasan dan keselamatan warga sipil Papua, tapi juga berdampak pada prajurit TNI berpangkat rendah dan anggota kepolisian,” tutur Dimas. Ia menegaskan bahwa kebijakan tersebut seharusnya segera dievaluasi, mengingat jumlah korban yang terus meningkat setiap tahun.
Secara keseluruhan, KontraS mendokumentasikan 85 peristiwa kekerasan oleh prajurit TNI sepanjang satu tahun terakhir. Dari angka itu, total korban mencapai 182 orang dengan rincian: 64 orang luka-luka, 31 orang meninggal dunia, serta 87 lainnya mengalami perlakuan tidak semestinya dalam konteks hukum, seperti intimidasi maupun teror.
Bentuk kekerasan yang paling banyak terjadi adalah penganiayaan dengan 35 kasus, disusul 19 tindakan intimidasi, 13 penyiksaan, 11 penembakan, dan 7 kekerasan seksual. Data ini menunjukkan pola kekerasan yang berulang serta menyebar di berbagai daerah.
KontraS menekankan bahwa pendekatan berbasis militer semata tidak menyelesaikan akar persoalan, terutama di daerah rawan konflik seperti Papua. Sebaliknya, strategi keamanan yang tidak diimbangi dengan upaya dialog berpotensi memperluas lingkar kekerasan dan menambah korban dari berbagai pihak.
“Jumlah korban jiwa dari tahun ke tahun semakin banyak, sehingga kebijakan ini harus segera dievaluasi,” tegas Dimas.
Laporan ini menjadi peringatan bagi pemerintah untuk meninjau ulang arah kebijakan keamanan, agar penegakan hukum tidak lagi diwarnai tindakan kekerasan yang merugikan warga sipil maupun aparat negara sendiri. []
Siti Sholehah.