Listrik dari Generator, RS di Gaza Bertahan di Tengah Krisis Bahan Bakar

JAKARTA – Kembali beroperasinya Rumah Sakit (RS) Al-Awda di Jalur Gaza menjadi secercah harapan di tengah krisis kemanusiaan yang berkepanjangan. Namun, operasional rumah sakit tersebut masih berada di ujung tanduk. Pasokan bahan bakar solar yang baru diterima hanya mampu menopang layanan selama sekitar dua hingga dua setengah hari, sebelum ancaman penghentian layanan kembali membayangi ribuan warga yang bergantung pada fasilitas kesehatan tersebut.

Dilansir AFP, Sabtu (27/12/2025), RS Al-Awda yang berlokasi di distrik Nuseirat, Gaza Tengah, kini merawat sekitar 60 pasien rawat inap dan melayani hampir 1.000 warga setiap harinya. Sebelumnya, rumah sakit ini terpaksa menghentikan sebagian besar layanannya akibat kehabisan solar untuk mengoperasikan generator listrik, yang menjadi satu-satunya sumber daya di tengah krisis energi berkepanjangan.

“sebagian besar layanan sementara dihentikan karena kekurangan bahan bakar untuk generator,” ujar pejabat pengelola RS Al-Awda, Ahmed Mehanna.

Ia menjelaskan bahwa keterbatasan energi memaksa manajemen rumah sakit mengambil keputusan sulit dengan memprioritaskan layanan paling vital.

“Hanya departemen penting yang tetap beroperasi: unit gawat darurat, ruang bersalin, dan pediatri,” tambahnya.

Kondisi tersebut mencerminkan betapa rapuhnya sistem kesehatan di Gaza, di mana keterbatasan logistik dapat langsung berdampak pada keselamatan pasien. Dalam situasi normal, RS Al-Awda membutuhkan antara 1.000 hingga 1.200 liter solar per hari. Namun saat ini, stok yang tersedia hanya sekitar 800 liter, jauh dari kebutuhan ideal untuk mempertahankan layanan medis yang layak.

Pada Jumat malam, rumah sakit menerima tambahan 2.500 liter solar yang disalurkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Bantuan ini memungkinkan sebagian layanan kembali berjalan, meski hanya bersifat sementara.

“Jumlah bahan bakar ini hanya akan bertahan dua setengah hari, tetapi kami dijanjikan pasokan tambahan pada Minggu depan,” katanya.

Pelaksana Tugas Direktur RS Al-Awda, Mohammed Salha, menilai krisis ini bukan sekadar persoalan teknis, melainkan bagian dari pembatasan sistematis terhadap sektor kesehatan Gaza.

“Kami mengetuk semua pintu agar bisa terus memberikan layanan, tetapi sementara pendudukan memberikan bahan bakar untuk lembaga internasional, mereka membatasinya untuk fasilitas kesehatan lokal seperti Al-Awda,” kata Salha kepada AFP.

Meski gencatan senjata telah berlaku sejak 10 Oktober, kondisi kemanusiaan di Gaza belum menunjukkan pemulihan berarti. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mencatat jumlah bantuan yang masuk masih jauh di bawah kesepakatan, yakni hanya 100 hingga 300 truk per hari dari target 600 truk. Sebagian besar bantuan tersebut pun berupa barang komersial yang sulit diakses oleh mayoritas dari 2,2 juta penduduk Gaza.

Dampak krisis ini dirasakan langsung oleh warga. Seorang pengungsi bernama Khitam Ayada (30) mengaku gagal mendapatkan perawatan medis saat mendatangi RS Al-Awda karena keterbatasan listrik.

“Tapi mereka bilang tidak ada listrik untuk melakukan X-ray… dan mereka tidak bisa merawat saya,” kata wanita pengungsi itu.

“Kami kekurangan segalanya dalam hidup, bahkan layanan medis paling dasar,” tambahnya.

Sektor kesehatan menjadi salah satu sektor yang paling terdampak dalam perang berkepanjangan di Gaza. Israel berulang kali menargetkan rumah sakit dengan alasan adanya aktivitas Hamas, tuduhan yang dibantah kelompok tersebut. Di tengah situasi ini, organisasi medis internasional seperti Doctors Without Borders kini menopang sekitar sepertiga dari total 2.300 tempat tidur rumah sakit di Gaza, termasuk seluruh pusat stabilisasi bagi anak-anak dengan malnutrisi parah.

Krisis bahan bakar di RS Al-Awda menjadi gambaran nyata bahwa tanpa akses logistik yang memadai, layanan kesehatan di Gaza terus berada dalam kondisi darurat, dengan nyawa pasien sebagai taruhannya. []

Siti Sholehah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *