Mantan Dirut Inhutani V Terancam Pidana Korupsi

JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membawa kasus dugaan suap di sektor pengelolaan hutan ke meja hijau. Mantan Direktur Utama PT Industri Hutan V (Inhutani V), Dicky Yuana Rady, didakwa menerima suap senilai SGD 199 ribu atau setara Rp 2,5 miliar dari dua pengusaha swasta. Uang tersebut diduga diberikan untuk mengamankan kepentingan bisnis agar perusahaan para pemberi suap tetap dapat menjalin kerja sama pemanfaatan kawasan hutan dengan Inhutani V.

Sidang pembacaan dakwaan digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, Senin (22/12/2025). Dalam dakwaan jaksa penuntut umum, dua pengusaha yang terlibat dalam perkara ini adalah Djunaidi Nur selaku Direktur PT Paramitra Mulia Langgeng (PML) serta Aditya Simaputra yang merupakan asisten pribadi sekaligus orang kepercayaan Djunaidi dan menjabat sebagai staf perizinan di PT Sungai Budi Grup (SBG).

“Terdakwa menerima uang sebesar SGD 10 ribu dari Djunaidi Nur selaku Direktur PT Paramita Mulia Langgeng (PT PML) dan menerima uang sebesar SGD 189 ribu dari Djunaidi Nur bersama Aditya Simaputra selaku Staf Perizinan di PT PML,” kata jaksa membacakan dakwaan.

Jaksa menjelaskan, pemberian uang tersebut bukan tanpa tujuan. Suap diduga diberikan untuk memengaruhi kebijakan dan keputusan terdakwa selaku pimpinan perusahaan pelat merah di sektor kehutanan.

“Hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yaitu agar terdakwa mengondisikan atau mengatur agar PT Paramitra Mulia Langgeng (PML) tetap dapat bekerjasama dengan PT Inhutani V dalam memanfaatkan kawasan hutan pada register 42,44 dan 46 di wilayah Provinsi Lampung,” lanjutnya.

Menurut dakwaan, pemberian uang dilakukan dalam dua tahap. Djunaidi Nur pertama kali menyerahkan uang sebesar SGD 10 ribu kepada Dicky pada 21 Agustus 2024. Selanjutnya, pada 1 Agustus 2025, Djunaidi bersama Aditya kembali memberikan uang sebesar SGD 189 ribu. Penyerahan uang dilakukan di kantor PT Inhutani V serta di salah satu lokasi di kawasan Kembangan, Jakarta Barat.

Kasus ini memiliki akar persoalan yang panjang. Jaksa memaparkan bahwa kerja sama antara Inhutani V dan PT PML dalam pengelolaan kawasan hutan telah berlangsung sejak 2009. Namun, pada 2014, kerja sama tersebut berubah menjadi sengketa hukum. PT PML menggugat melalui Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dan sempat memenangkan perkara. Putusan tersebut kemudian dibatalkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, sebelum akhirnya Mahkamah Agung menguatkan kembali putusan BANI.

Sengketa dinyatakan berakhir setelah putusan MA pada 1 November 2018. Namun, persoalan tak berhenti di situ. Pada 2019, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan pemeriksaan terhadap pengelolaan keuangan PT Inhutani V. Dalam laporannya, BPK menyimpulkan bahwa Inhutani V tidak memperoleh manfaat dari kerja sama dengan PT PML selama hampir satu dekade, yakni sejak 2009 hingga 2019.

BPK kemudian merekomendasikan peninjauan ulang perjanjian kerja sama tersebut. Situasi semakin kompleks ketika pada 2023, Mahkamah Agung memutuskan PT PML telah melakukan wanprestasi dan menghukum perusahaan itu membayar ganti rugi Rp 3,4 miliar ditambah bunga 6 persen per tahun.

Jaksa menyebut, keterbatasan PT PML dalam mengelola lahan pasca-putusan MA mendorong Djunaidi dan Aditya melakukan pendekatan kepada jajaran Inhutani V. Dari sejumlah pertemuan itulah, jaksa menduga muncul permintaan uang dari Dicky selaku Direktur Utama saat itu.

Atas perbuatannya, Dicky Yuana Rady didakwa melanggar Pasal 11 jo Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan ancaman pidana penjara dan denda sesuai ketentuan hukum yang berlaku. []

Siti Sholehah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *