Megawati Dorong Daerah Miliki Alarm Bencana Berbasis Lokal
JAKARTA – Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri menekankan pentingnya kesiapsiagaan daerah dalam menghadapi potensi bencana alam. Dalam pandangannya, sistem peringatan dini tidak selalu harus bergantung pada teknologi mahal, melainkan dapat memanfaatkan alat sederhana yang dekat dengan kehidupan masyarakat, seperti kentongan. Pesan tersebut disampaikan Megawati saat memberikan sambutan dalam Seminar Mitigasi Bencana dan Pertolongan Korban yang digelar di Jakarta International Equestrian Park, Jakarta Timur.
Megawati menilai bahwa setiap pemerintah daerah semestinya memiliki mekanisme peringatan dini yang jelas dan mudah dipahami warga. Alarm bencana, menurutnya, merupakan kebutuhan dasar di wilayah yang memiliki potensi risiko alam tinggi, baik gempa bumi, tsunami, banjir, maupun letusan gunung berapi.
“Nah orang saya aja minta sama pemerintah daerah, mbok ya kamu kalau daerahnya itu udah ada, mungkin kemungkinan ada bencana gitu, mbok pasang ini, Anda seperti itu. Alah, kadang saya sampai sebel, ya uangnya kan nggak ada, waduh mati dah gua,” kata Megawati.
Ia menyoroti alasan keterbatasan anggaran yang kerap dijadikan dalih oleh pemerintah daerah untuk tidak memasang sistem peringatan dini. Padahal, menurut Megawati, solusi dapat ditemukan dengan memanfaatkan kearifan lokal yang telah lama dikenal masyarakat.
“Lah tau kentongan apa nggak? Di daerah kamu yang lain apa namanya saya nggak tahu apa, entahlah pokoknya namanya, tapi ngerti maksud saya kan, nggak ada umpamanya ini, pake opo bambu, pake tok tok tok,” sambungnya.
Megawati menjelaskan bahwa kentongan dapat difungsikan sebagai alat komunikasi darurat yang efektif. Dengan pola bunyi tertentu, masyarakat dapat langsung memahami tingkat bahaya yang sedang terjadi tanpa harus menunggu instruksi tambahan.
“Nah, kalo di Jawa itu kentongan, jadi aritiannya gimana, nomor 1, tuong, tuong, nah berarti eh ada apa nih ya, kan gitu. Lah kalau nggak ada alarm, ya kenapa nggak bikin aja sendiri, itu kan hanya signal, tanda bahaya, SOS,” jelasnya.
Ia bahkan merinci sistem bunyi yang dapat disepakati bersama warga, mulai dari tanda siaga hingga perintah evakuasi. Menurut Megawati, latihan dan edukasi semacam ini penting agar masyarakat tidak panik saat bencana benar-benar terjadi.
“Nah, kalau nanti kejadian ini pada ngelongok semua, karena saya udah ajarin. Jadi kalau pertama itu dia itu, tong, tong, musti siap. Kalau di rumah segera ambil itu, tunggu aja dulu, kalau mulai tong, tong, tong, tong, itu dua kali kan, nah tinggal nunggu apa, namanya titiran, tong, tong, tong, tong, lari ngerti apa tidak?” sambungnya.
Megawati juga membandingkan kesiapsiagaan Indonesia dengan Jepang, negara yang dikenal memiliki sistem mitigasi bencana sangat baik. Ia menceritakan pengalamannya secara langsung saat berada di Jepang dan mendengar sirene peringatan bencana.
“Kalau di Jepang dibuat sirene, sirene pertama saya itu pernah ngalami. Lagi makan Hoka-Hoka Bento sama anak-anak, tau-tau kok bunyi sirene pertama. Nah, saya padahal sudah dibilangi teman saya orang Jepang. Kalau ada sirene itu kita mau nggak mau, harus segera pergi,” ucapnya.
Ia menambahkan, alarm kedua menjadi penanda bahwa warga harus segera menyelamatkan diri.
“Yang harus kita tunggu yang kedua. Yang kedua bunyi nguing, nguing, nguing, nguing, nguing, nguing, nguing, nguing, nguing, Fukusima itu luar biasa, saya bilang, kapan Indonesia bisa gini?” katanya.
Melalui pernyataan tersebut, Megawati ingin menegaskan bahwa mitigasi bencana bukan hanya soal infrastruktur canggih, melainkan soal kesiapan sistem, kedisiplinan, dan kesadaran kolektif untuk menyelamatkan nyawa. []
Siti Sholehah.
