Netanyahu Minta Grasi, Israel Berdebat

JAKARTA – Permintaan pengampunan praperadilan yang diajukan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu kepada Presiden Isaac Herzog pada Minggu (30/11/2025) memicu perdebatan luas dan menjadi fokus pemberitaan nasional. Langkah yang tidak lazim tersebut dianggap dapat menghentikan proses persidangan kasus korupsi yang menjerat Netanyahu, bahkan sebelum pengadilan memutuskan bersalah atau tidaknya sang perdana menteri.

Media-media besar Israel memberikan sorotan berbeda terhadap keputusan tersebut. Harian Yedioth Ahronoth menampilkan judul “Dilema pengampunan,” sementara Israel Hayom, surat kabar berhaluan kanan, menilai permohonan itu “tidak biasa dan memiliki implikasi signifikan.”

Dalam pernyataan video yang disiarkan ke publik, Netanyahu menegaskan bahwa keinginannya terbagi antara membuktikan ketidakbersalahannya di pengadilan dan menyetop proses persidangan yang menurutnya justru memperuncing perpecahan internal di Israel.

“Realitas keamanan dan politik, serta kepentingan nasional, menuntut hal yang berbeda,” ujarnya. Ia menambahkan bahwa proses hukum yang berlangsung saat ini “memecah belah kita dari dalam, memicu perselisihan sengit dan memperdalam perpecahan.” Netanyahu menekankan bahwa mengakhiri persidangan dapat menjadi momentum untuk meredam ketegangan dan membuka ruang rekonsiliasi.

Permintaan ini muncul tidak lama setelah Presiden AS Donald Trump mengirim surat kepada Herzog pada 12 November, mendorong agar Netanyahu diberikan pengampunan penuh. Trump sebelumnya juga menyerukan hal serupa dalam pidatonya di Knesset bulan Oktober lalu.

Netanyahu sendiri merupakan perdana menteri aktif pertama yang didakwa dalam kasus suap, penipuan, dan pelanggaran kepercayaan. Tuduhan tersebut mencakup penerimaan hadiah mewah sebagai imbalan untuk bantuan politik serta upaya memperoleh liputan menguntungkan dari media dan perusahaan telekomunikasi. Selama lima tahun persidangan, ia berulang kali menyatakan bahwa kasus tersebut adalah “perburuan penyihir.”

Sejumlah analis memandang langkah Netanyahu berhubungan dengan dinamika politik dan konflik berkepanjangan yang melibatkan Gaza, Lebanon, hingga Iran. Di sisi lain, perlambatan proses hukum juga dipicu oleh pandemi, dinamika pemilu Israel, serta upaya penundaan persidangan oleh tim kuasa hukumnya dengan alasan keamanan nasional.

Reaksi dari oposisi langsung bermunculan. Pemimpin oposisi Yair Lapid menegaskan bahwa pengampunan hanya dapat diberikan bila Netanyahu mengundurkan diri dari jabatan perdana menteri. “Anda tidak dapat memberikan pengampunan kepadanya tanpa pengakuan bersalah, ungkapan penyesalan, dan pengunduran diri segera dari kehidupan politik,” ujar Lapid.

Mantan PM Naftali Bennett juga menyuarakan sikap serupa. Ia menyatakan dukungan pengampunan hanya jika proses hukum diakhiri bersamaan dengan mundurnya Netanyahu dari panggung politik.

Secara historis, Israel nyaris tidak memiliki preseden pengampunan sebelum vonis. Salah satu contoh langka terjadi sekitar 40 tahun lalu ketika Chaim Herzog—ayah presiden saat ini—memberikan pengampunan kepada sejumlah pejabat Shin Bet sebelum persidangan mereka dimulai.

Di tengah perdebatan, Herzog menegaskan bahwa dirinya menyadari sensitifnya situasi ini. Dalam pernyataan Senin (01/12/2025), ia mengatakan permohonan pengampunan Netanyahu “jelas memicu perdebatan dan sangat mengganggu banyak orang.” Herzog memastikan bahwa keputusan yang akan diambilnya hanya mempertimbangkan “kepentingan terbaik negara dan masyarakat Israel.” []

Siti Sholehah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *