Ombudsman Kaltim Soroti Dugaan Pungutan Wisuda di Sekolah Negeri

SAMARINDA – Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Perwakilan Kalimantan Timur menyoroti dugaan pungutan dalam pelaksanaan wisuda di tingkat SMA, SMK, dan SLB. Sejumlah pengaduan resmi telah diterima dan menjadi dasar bagi ORI untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut.
Untuk menyelidiki dugaan pungutan tersebut, ORI Kaltim menginisiasi Investigasi atas Prakarsa Sendiri (IAPS). Kepala Keasistenan Pemeriksaan Laporan ORI Kaltim, Dwi Farisa Putra Wibowo, mengungkapkan bahwa pihaknya telah menerima enam laporan terkait, dengan dua laporan berasal dari Samarinda dan empat dari Balikpapan.
“Dari hasil klarifikasi awal, pungutan wisuda yang dilakukan oleh sekolah negeri dapat dikategorikan sebagai maladministrasi,” ujarnya, Senin (24/3/2025).
Ia menegaskan bahwa aturan yang berlaku tidak memperbolehkan sekolah negeri menerapkan pungutan dengan nominal tertentu dan tenggat waktu pembayaran yang mengikat.
Saat ini, ORI Kaltim masih mengumpulkan lebih banyak data guna mengembangkan investigasi.
“IAPS yang telah kami rilis masih dalam tahap pengembangan. Tidak menutup kemungkinan akan ada temuan lebih besar,” tambahnya.
Salah satu kasus yang menjadi perhatian adalah di SMK 17 Samarinda, di mana pengambilan sumpah profesi keperawatan atau kefarmasian bagi lulusan dijadikan satu dengan acara wisuda. Orang tua siswa kemudian dibebankan biaya pelaksanaan kegiatan tersebut.
“Pengambilan sumpah profesi boleh dilakukan tanpa pungutan. Aturan memperbolehkan penggalangan dana, tetapi sifatnya harus sukarela,” jelasnya.
Setelah melalui pembahasan dalam rapat bersama pihak terkait di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kaltim pada Senin pagi, acara wisuda yang memungut biaya akhirnya dipastikan batal.
ORI Kaltim menekankan bahwa Disdikbud, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, perlu mengevaluasi kembali sistem pengawasan dan pembinaan terhadap pelaksanaan wisuda di sekolah negeri.
Sebagai tindak lanjut, Disdikbud telah menerbitkan surat edaran untuk menegaskan kebijakan ini.
“Pihak dinas perlu memastikan bahwa surat edaran tersebut benar-benar dipahami oleh seluruh kepala sekolah di satuan pendidikan masing-masing, sehingga kasus serupa tidak terulang di masa mendatang,” pungkasnya. []
Nur Quratul Nabila A