Pagar Beton Cilincing Picu Krisis Nelayan

JAKARTA — Kemunculan pagar beton di perairan pesisir Cilincing, Jakarta Utara, sejak Mei 2025, kini memunculkan polemik yang kian serius.

Bagi nelayan, kehadiran struktur beton tersebut bukan hanya mengganggu jalur melaut, tetapi juga merusak ekosistem laut dan menurunkan hasil tangkapan.

Pantauan di lokasi menunjukkan, pagar beton awalnya hanya satu unit dengan dua lainnya masih dalam tahap pemasangan.

Namun, setelah tiga bulan berjalan, jumlahnya bertambah menjadi tiga pagar beton yang menjulur dari daratan ke laut dengan panjang sekitar tiga kilometer.

“Sebelumnya kan ada batasnya, tapi ini semakin panjang ke depan,” ujar Boy (30, nama samaran), seorang nelayan Cilincing, Jumat (22/8/2025).

Pagar beton itu diketahui dimiliki salah satu perusahaan di kawasan setempat dan difungsikan sebagai fasilitas bongkar muat batu bara curah.

Sejak beroperasi, kapal tongkang pengangkut batu bara kerap lalu lalang, memunculkan tumpahan minyak yang mengotori air laut. Nelayan mengaku langsung merasakan dampaknya.

“Pasti perih banget, gatal, panas, mata kaya bukan iritasi lagi bisa rusak kalau enggak buru-buru dicuci pakai air,” kata Boy.

Kerugian nelayan tidak berhenti pada pencemaran semata. Bagan yang mereka gunakan untuk menjaring ikan ikut rusak akibat getaran dari pembangunan tiang pancang.

Ending (50, nama samaran), nelayan lainnya, menyebut sedikitnya ada 10 bagan terdampak.

“Yang terdampak di bangunan beton baru ini ada 10 bagan. Dampaknya dari limbah batu bara dan getaran paku bumi itu ikan pada kabur ke tengah,” ujarnya.

Seiring bertambahnya pagar beton, nelayan semakin kesulitan mencari ikan di sekitar pesisir. Jenis ikan yang biasa mereka tangkap, seperti cekong, tembang putih, teri, hingga cumi, kini hampir tak lagi ditemukan.

Sebaliknya, hasil tangkapan didominasi ikan beseng dengan harga jual rendah. “Cuma sekarang ikan yang kami dapat paling beseng doang,” tutur Boy.

Dampak ekonomi pun nyata terasa. Jika sebelumnya nelayan dapat memperoleh penghasilan Rp 3 juta hingga Rp 5 juta per hari, kini mereka hanya membawa pulang sekitar Rp 50.000.

Kondisi ini membuat banyak nelayan khawatir masa depan mereka kian terdesak oleh kepentingan industri. []

Nur Quratul Nabila A

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *