Palsu Yang Fenomenal Dalam Kepalsuan Yang Fenomenal
MEMBANJIRNYA berbagai produk dari negeri tirai bambu, Cina, di hampir seluruh pasaran dunia termasuk Indonesia adalah fenomena yang membuat kita semua teringat pada satu ungkapan
“Menuntut ilmulah sampai ke Negeri Cina.”
Kemampuan negeri ras kuning ini dalam hal memproduksi barang barang murah yang mirip dengan aslinya hasil produksi negara-negara maju lain, membuat kita semua terperangah dan mau tidak mau harus mengakui kedigdayaan Negara yang berpenduduk kurang lebih semiliar itu.
Produk tiruan atau lebih tepatnya kita sebut sebagai produk palsu hasil buatan cina itu harus diakui merupakan fenomena baru yang luar biasa.
Biasanya barang palsu atau tiruan itu kurang disukai orang sehingga para penjual pasti tidak akan berani mengakui bahwa dagangannya adalah tiruan atau palsu, namun hal ini berbeda sekali dengan barang tiruan hasil produksi Cina.
Semua pedagang yang menjual produk Cina dengan bangga justru mempromosikan barangnya sebagai buatan Cina tanpa kuatir tidak ada pembeli yang mau membeli dagangannya.
Sebaliknya calon pembeli pun seakan terhipnotis dan tidak pernah mencibir ketika tahu bahwa barang yang diminatinya merupakan produk Cina, bahkan seakan berlomba memilikinya, padahal kecenderungan konsumen adalah menolak membeli kalau tahu itu tiruan atau palsu.
Kehebatan dan daya pikat inilah yang patut kita acungi jempol sekaligus belajar dari bangsa ini ,,apa strategi pemasaran yang mendasari negeri ini begitu berani memproduksi berbagai macam dan ragam barang, baik kosmetik, pakaian maupun elektronik dll tanpa rasa kuatir kalau barang produksinya tidak akan laku di pasaran.
Murah tapi tidak Murahan, mungkin itulah ungkapan yang tepat terhadap barang barang produksi Cina yang dipasarkan di seantero Asia bahkan dunia.
Mereka tahu selera pembeli dan mereka sangat paham bahwa daya beli beberapa konsumen tertentu tak mampu menjangkau harga yang disodorkan produk lain terutama beberapa produk merek tertentu.
Itulah sebabnya Cina dalam hal meniru tidaklah sembarangan seperti perkiraan banyak orang tapi mereka telah lebih dulu menganalisa tren selera, daya beli dan daya saing pasar terhadap barang yang akan ditiru serta seberapa lama selera terhadap barang tersebut akan bertahan di pasaran.
Setelah itu barulah mereka masuk pada tahapan berikut yakni mengkalkulasi bahan baku dan biaya produksi agar nantinya barang tiruan itu mampu memenuhi selera pasar, tahan lama dan harga terjangkau.
Beberapa strategi itulah yang membuat barang hasil produksi dari Negeri Panda itu menjadi sangat fenomenal.
Kecenderungan pasar yang selalu menolak membeli barang tiruan atau palsu tidak menjadi hambatan bagi pemasaran produk tiruan itu, kekhawatiran penjual jika barang dagangannya diketahui sebagai barang tiruan atau palsu justru tidak terlihat di wajah para pedagang yang menjual produk produk Cina itu, bahkan mereka berani berpromosi bahwa produk yang mereka jual adalah buatan Cina .
Itulah perbedaan yang terlihat jelas tatkala kita menyikapi opini publik terhadap sesuatu yang disebut palsu atau tiruan.
Palsu kali ini adalah tiruan yang justru diminati dan diburu oleh konsumen, palsu yang tidak dicibir dan diresahkan oleh pasar, tiruan yang justru dirindukan oleh mereka yang daya belinya terbatas. Palsu kali ini adalah palsu yang berbeda, karena itu layak disebut palsu fenomenal.
Berbanding terbalik dengan kedigdayaan bangsa Cina dalam membuat barang tiruan tapi justru sangat diminati itu.
Di belahan dunia yang sama, benua Asia, tepatnya di Negeri Zamrud khatulistiwa ini, kita dikagetkan dengan kehebohan ijasah palsu, yang tentunya tak bisa kita bandingkan dengan produk palsu Cina.
Manakala kehebohan barang palsu dan tiruan Cina itu malah mengangkat harkat dan martabat negaranya, maka pemalsuan di negeri kita ini justru merendahkan harkat dan martabat anak bangsa.
Fenomena ijasah palsu itu justru melibatkan kelompok intelektual dan terhormat. Mulai dari para pemimpin bangsa di lembaga legislatif, akademisi, rektor, pegawai negeri sampai pada level pembantu rumah tangga termasuk juga para pemimpin di daerah baik itu di tingkat provinsi, kota dan kabupaten.
Sebuah fenomena tidak terpuji dipertontonkan oleh para pemimpin di negeri ini demi sebuah gengsi dan reputasi .
Kebanggaan semu dibalut kehormatan imitasi, membuat manusia rela menyematkan gelar tinggi seakan akan telah meraih level tertinggi bidang akademis, meskipun itu hanya sebatas disematkan di dada sebagai papan nama.
Suatu pemalsuan dan kepalsuan yang justru menimbulkan masalah terhadap kredibilitas diri bahkan masalah pelanggaran hukum terhadap si pelaku, malah menjadi tren dan modus yang dibalut rasa bangga.
Tapi itulah fakta yang tidak bisa dipungkiri, kenyataan yang tidak bisa dihindari bahwa fenomena pemalsuan dan kepalsuan telah merambah sendi sendi budaya bangsa kita demi mengangkat martabat dan gengsi, demi reputasi abstrak dan membuat kita semua yang merasa sebagai anak bangsa, harus tertunduk dan tersipu karena ulah dan perilaku segelintir orang yang mengejar kehormatan dengan cara palsu, itulah fenomena kepalsuan yang ramai dipertontonkan.
Saat ini, bangsa kita Indonesia tercinta, di berbagai daerah dan wilayah, dalam semarak dan semangat otonomi daerah, tengah mempersiapkan diri menghadapi geliat pesta demokrasi 5 tahun sekali yakni pemilihan kepala daerah (Pilkada).
Sebagai sebuah negeri dengan wilayah yang luas, membentang dari Sabang sampai Merauke dan membujur dari Miangas sampai Pulau Rote, sebuah negeri kepulauan yang wilayahnya terpisah oleh lautan dan samudera yang berakibat pada banyaknya jumlah daerah daerah otonomi pada tingkat kabupaten dan kota.
Ada sekitar 500 daerah kabupaten dan kota hasil pemekaran sejak reformasi 1998, dan pada Desember 2015 nanti, ada separuh lebih dari daerah-daerah itu akan melaksanakan perhelatan demokrasi untuk memilih dan menentukan siapa kepala daerah yang akan memimpin daerah masing masing 5 tahun ke depannya.
Belajar dari sejarah masa lalu dan kenyataan saat ini, masyarakat kita seyogjanya telah belajar dan memahami, ada banyak kepala daerah yang bermasalah karena ijazah palsu dan terutama janji-janji palsu.
Dua periode Pilkada telah dilewati oleh banyak masyarakat di daerah-daerah di Indonesia, maka sudah pasti telah banyak yang memahami dan bisa bersikap untuk memilih pemimpin yang tidak melupakan janji janji kampanye.
Masyarakat Indonesia harus belajar untuk lebih mengedepankan naluri dan akal sehat, melihat dengan ‘mata hati ‘ untuk menentukan pilihan kepada figur yang memang layak jadi pemimpin.
Pilihlah pemimpin yang benar dan benar benar asli seorang pemimpin. Jangan salah menentukan pilihan yang pada akhirnya dihujat dan dibenci, padahal itulah pilihan yang dulunya sangat dibanggakan.
Carilah pemimpin yang tulen, asli dan tidak suka dengan pemalsuan, apalagi bangga dengan kepalsuan. Pilihlah pemimpin yang tidak suka menebar janji-janji palsu lalu mengingkarinya dengan argumen palsu dan pada akhirnya melaksanakan pemerintahannya dalam kepalsuan.
Setidaknya jika tidak ada lagi yang dianggap asli, tulen dan murni, mari memilih yang tiruan atau palsu tapi membanggakan, palsu yang fenomenal sebagaimana produk Cina itu, murah tapi tidak murahan. []