Pemblokiran Rekening Sepihak, Warga Merasa Dizalimi

JAKARTA – Kebijakan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang memblokir rekening tidak aktif selama tiga bulan memicu kritik luas dari publik.

Warga menganggap kebijakan tersebut bukan saja tidak tepat sasaran, tetapi juga mengabaikan realitas penggunaan rekening di kalangan masyarakat kecil.

Banyak yang mempertanyakan proses pemblokiran yang dilakukan secara otomatis tanpa mekanisme pemberitahuan ataupun peninjauan kasus per kasus.

Sejumlah masyarakat mengaku dirugikan akibat pemblokiran ini, terutama karena rekening yang diblokir bukan merupakan sarana aktivitas mencurigakan, melainkan digunakan untuk kebutuhan spesifik, seperti menerima bantuan, menyimpan hadiah lomba, atau dijadikan dana darurat.

Salah satu warga terdampak, Mardiyah (48), seorang pedagang kecil dari Citayam, mengaku terkejut saat mengetahui salah satu rekening miliknya telah diblokir.

Rekening tersebut selama ini digunakan untuk menerima bantuan sosial dari pemerintah.

“Saya punya dua rekening, satu buat usaha, satu lagi yang dulu dipakai menerima bantuan. Sekarang katanya diblokir karena enggak aktif tiga bulan. Saya juga kaget, padahal itu rekening masih saya anggap penting,” ujar Mardiyah.

Menurutnya, keberadaan rekening pasif bukan berarti menunjukkan niat untuk menyalahgunakannya.

Ia menyayangkan kebijakan yang terkesan menyamaratakan semua nasabah.

“Kadang orang baru isi tabungan pas lagi dapat rezeki. Bukan berarti mau salah gunain. Harusnya lihat juga kondisi masyarakat bawah, jangan semua disamakan,” lanjutnya.

Keluhan serupa juga disampaikan Ahmad Lubis (37). Ia mendapati bahwa rekening atas nama anaknya yang masih duduk di sekolah dasar ikut diblokir.

Rekening itu digunakan untuk menyimpan hadiah lomba anaknya dan tidak aktif karena memang disiapkan untuk masa depan.

“(Rekening yang terblokir) isi tabungan rekening anak saya hampir semuanya itu hadiah dari ikut lomba dan prestasi lainnya,” ungkap Ahmad.

Ia baru mengetahui adanya pemblokiran saat gagal melakukan penarikan di ATM. Setelah menghubungi bank, Ahmad mendapat informasi bahwa pemblokiran dilakukan atas instruksi dari PPATK.

“Sekitar tiga minggu lalu mau ambil uang dari rekening anak lewat ATM tapi tidak mau keluar, ada kendala. Tapi cek saldo bisa. Terus, 11 Juli saya ke bank, kata pihak bank diblokir PPATK,” ujarnya.

Ahmad menilai PPATK seharusnya bisa lebih selektif dalam menindak rekening mencurigakan, bukan memukul rata seluruh rekening tidak aktif sebagai potensi kejahatan.

“Sebetulnya PPATK kan mau memberantas kejahatan. Seharusnya mereka pintar untuk memblokir yang tepat bukan sembarangan blokir,” tambahnya.

Sementara itu, Reza Nugraha (25), seorang pekerja lepas dari Depok, turut menyampaikan kekecewaannya.

Reza menggunakan rekeningnya hanya untuk keperluan darurat karena pembayaran dari klien lebih sering dilakukan melalui dompet digital dan PayPal.

“Klien gue kan biasanya bayar lewat dompet digital. Tapi gue emang tetap pertahanin rekening itu buat jaga-jaga. Kemarin pas mau pakai, malah udah diblokir. Harus ke bank, ribet,” katanya.

Saat mencoba mencari penjelasan dari pihak bank, ia tidak mendapatkan kejelasan soal prosedur pembukaan blokir.

“Gue coba tanya ke customer service bank, katanya ini perintah dari pusat dan buat membukanya harus nunggu dari PPATK. Tapi mereka sendiri enggak tahu proses pastinya,” ucap Reza.

Ia menyebut kebijakan tersebut sebagai bentuk ketidakpahaman terhadap dinamika transaksi digital masyarakat masa kini.

“Ini kebijakan yang ketinggalan zaman lah. Kalau alasannya mau cegah rekening bodong, ya jangan semua disikat,” kritiknya.

“Kalau niatnya bagus, ya pelaksanaan juga harus tepat. Jangan malah bikin rakyat tambah susah dan merasa dicurigai terus,” tambah Reza.

Menanggapi berbagai protes, PPATK menjelaskan bahwa pemblokiran rekening tidak aktif dilakukan untuk mencegah penyalahgunaan dalam aktivitas ilegal, termasuk judi daring dan tindak pidana pencucian uang.

Kebijakan ini didasarkan pada amanat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

PPATK mengklaim bahwa selama tahun 2024, pihaknya telah mengidentifikasi lebih dari 28.000 rekening yang terlibat atau berpotensi digunakan dalam praktik ilegal, termasuk oleh jaringan judi online.

Meski demikian, warga mendesak adanya penyempurnaan sistem verifikasi serta keterlibatan nasabah dalam proses evaluasi sebelum pemblokiran dilakukan.

Publik menilai bahwa perlindungan terhadap sistem keuangan harus tetap menjunjung keadilan serta kepastian hukum bagi masyarakat luas. []

Nur Quratul Nabila A

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *