Penangkapan WFT Belum Pastikan Identitas Bjorka

JAKARTA – Penangkapan seorang pemuda asal Minahasa, Sulawesi Utara, berinisial WFT (22), kembali membuka perdebatan publik tentang identitas asli hacker misterius bernama Bjorka. Selama beberapa tahun terakhir, nama Bjorka kerap dikaitkan dengan sederet kasus peretasan besar di Indonesia. Namun, meski WFT diamankan, polisi belum berani menyatakan secara tegas bahwa dialah sosok di balik akun peretas tersebut.
WFT disebut memiliki berbagai alias di dunia maya, di antaranya SkyWave, Shint Hunter, hingga Opposite6890. Kendati demikian, Wakil Direktur Siber Polda Metro Jaya, AKBP Fian Yunus, menegaskan pihaknya tidak bisa terburu-buru menarik kesimpulan.
“Jawabannya, saya bisa jawab mungkin. Apakah Bjorka 2020, mungkin, apakah Opposite6890 yang dicari-cari, mungkin,” ujar Fian dalam keterangan di Jakarta, Kamis (02/10/2025).
Nama Bjorka sendiri sebelumnya ramai diperbincangkan lantaran diduga berada di balik kebocoran 6,6 juta data Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), termasuk milik pejabat negara seperti Presiden Joko Widodo dan Menteri Keuangan Sri Mulyani. Selain itu, akun ini juga dikaitkan dengan penjualan 34 juta data paspor, klaim serangan ransomware terhadap bank BCA, serta peretasan sistem Perpustakaan Nasional RI.
Meski rentetan kasus tersebut menimbulkan keresahan, kepastian siapa yang berada di balik identitas Bjorka masih jauh dari jelas. Fian menekankan bahwa penyidikan siber berbeda dari kejahatan konvensional. Dibutuhkan analisis mendalam terhadap jejak digital yang sering kali tumpang tindih dan tersamar.
“Karena di internet, everybody can be anybody. Jadi itu masih dalam penyelidikan. Kita perlu pendalaman lebih dalam terkait dengan bukti-bukti yang ditemukan, baik itu data maupun jejak digitalnya, sehingga dapat diformulasikan,” jelasnya.
Ia menambahkan, proses ini tidak bisa instan. “Saya belum bisa menjawab 90%, tetapi kalau Anda tanya sekarang saya bisa jawab, mungkin. Sekarang kita lihat jejak digitalnya. Dan itu membutuhkan waktu yang lama, karena datanya sudah tertumpuk di bawah,” imbuhnya.
Sementara itu, Kasubdit Penmas Polda Metro, AKBP Reonald Simanjuntak, menegaskan bahwa penyidik wajib mengedepankan kepastian hukum. Menurutnya, penggunaan kata “mungkin” dalam keterangan resmi bukan berarti spekulasi, melainkan bentuk kehati-hatian.
“Kenapa jawabannya beliau mungkin ya? Karena yang namanya penyidik itu tidak boleh berandai-andai dan tidak boleh menerka-nerka. Jadi segala sesuatu itu apabila sudah dipersangkakan terhadap seseorang, itu harus pasti, ini alat buktinya, ini barang buktinya, ini perbuatan kamu lakukan dan kamu adalah pelakunya,” tegas Reonald.
Polisi pun mengimbau masyarakat yang merasa menjadi korban ulah Bjorka untuk segera melapor. Laporan tambahan dari korban diyakini dapat membantu memperkuat proses penyelidikan.
Kasus ini sekali lagi menunjukkan betapa rumitnya membongkar identitas pelaku kejahatan siber. Dunia maya memungkinkan seseorang bersembunyi di balik banyak nama samaran, sementara publik menunggu kepastian: apakah WFT benar-benar Bjorka, atau hanya salah satu pion dalam jaringan peretas yang lebih besar. []
Siti Sholehah.