Penjelasan China Terhadap Sengketa Laut China Selatan
JAKARTA – Wakil Duta Besar China untuk RI, Liu Hongyang, menegaskan isu sengketa di Laut China Selatan, bukanlah isu antara China dengan ASEAN dan Indonesia. Liu menyebut itu adalah isu antara China dengan negara-negara anggota ASEAN yang turut mengklaim.
Pernyataan itu dikemukakan Liu usai menjadi pembicara dalam kuliah umum bertajuk “Pembangunan China dan Hubungannya dengan Indonesia dan ASEAN” di Univeritas Al-Azhar Indonesia, Jakarta Selatan, Kamis 26 Juni 2014 malam. Liu mengatakan penyelesaian secara bilateral tetap merupakan jalan terbaik untuk menyelesaikan sengketa itu.
“Saya terus mengamati isu ini secara dekat. Kami masih terus menanti apa yang akan dilakukan oleh Pemerintah RI terkait kebijakan luar negeri. Di mata kami, LCS bukan masalah antara ASEAN, RI dengan China, tetapi antara China dengan negara-negara yang mengklaim wilayah di sana,” katanya.
Diplomat yang baru pindah ke Indonesia selama sembilan bulan ini tidak begitu yakin isu itu dapat berpengaruh kepada pembentukan Komunitas Masyarakat ASEAN yang dimulai pada Desember 2015. Liu beranggapan, itu semua tergantung dari sikap negara-negara yang mengklaim wilayah di sana.
“Apabila, mereka siap berdialog dengan kami secara bilateral, maka kami pun akan siap. Tetapi, bila mereka terus menempuh jalur itu (selain diplomasi), maka ASEAN sebagai organisasi turun tangan dan mengendalikan hal itu,” ujarnya.
Liu turut memuji peranan yang diambil oleh RI dalam meningkatkan kerjasama China dengan ASEAN.
“Maka, kami berharap RI akan melanjutkan peranan aktif dan konstruktif agar rasa percaya dan kerjasama dapat terus ditingkatkan antara China dan ASEAN,” ujar dia.
Pernyataan serupa sebelumnya telah disampaikan oleh Kementerian Luar Negeri China di saat negara ASEAN menggelar KTT di Myanmar pada bulan Mei lalu. Mereka bahkan menyebut ada beberapa negara yang justru menggunakan isu itu hanya untuk membahayakan hubungan persahabatan China dengan ASEAN.
Kantor berita Reuters melansir, China siap bekerja sama dengan ASEAN untuk terus menerapkan deklarasi tata kelakuan baik di antara negara yang mengklaim wilayah di LCS.
Kendati tidak dianggap konflik, para Menteri Luar Negeri se-ASEAN saat bertemu di Myanmar khawatir ketegangan di kawasan dapat meningkat. Oleh sebab itu mereka mendorong agar tata kelakuan baik (COC) di Laut China Selatan dipercepat.
Sebagai contoh, kini konflik di antara Vietnam dengan China kian terbuka. Vietnam mengklaim kapal China telah menabrak dan menembakkan meriam ke kapal mereka.
Belum lagi, warga Vietnam pada bulan lalu melakukan unjuk rasa besar-besaran yang berakhir kericuhan. Mereka memprotes tindakan China yang memindahkan rig pengeboran minyak ke daerah sengketa.
Kekhawatiran ini turut dinyatakan oleh Menteri Luar Negeri, Marty Natalegawa. Dia menyebut situasi yang berlangsung di lapangan tidak sejalan dengan proses negosiasi COC.
“Di jalur diplomatik (antara ASEAN dan China), situasinya cukup menggembirakan. Tetapi, di lapangan atau di laut, situasinya tidak benar-benar sejalan dengan jalur diplomatik, sehingga kami harus memastikan kenyataan di lapangan sejalan dengan upaya diplomatik,” kata dia.
Konflik di Laut China Selatan telah berlangsung sejak lama. Selain Vietnam, beberapa negara anggota ASEAN yang turut mengajukan klaim yang tumpang tindih yaitu Malaysia, Brunei dan Filipina.
Filipina bahkan telah mengajukan klaim tersebut ke pengadilan internasional. Bersama dengan Vietnam, kedua negara itu tegas menentang peta yang dibuat oleh China menyangkut wilayah perairan yang mereka klaim.
Namun, di balik sengketa tersebut, diperkirakan beberapa negara mengincar kandungan minyak bumi dan gas alam yang terbenam di area tersebut. Kantor berita China, Xinhua melansir kawasan tersebut memiliki cadangan kandungan minyak sebanyak 30 miliar metrik ton dan 16 triliun meter kubik gas.
Jumlah itu sama dengan sepertiga cadangan gas dan minyak China. Selain itu, menurut Direktur Internasional Security Program di Lowy Institute, Australia, untuk urusan Kebijakan Internasional, Rory Medcalf, LCS juga menjadi jalur penting perdagangan bagi hampir semua negara utama dunia.
“Hampir sepertiga minyak mentah dunia dan lebih dari setengah pasokan LPG dunia melewati laut tersebut, yang sebagian besar mengarah ke China dan Asia Timur Laut,” ujar Medcalf dan dikutip harian Wall Street Journal. []RedNS29/VN