Perbedaan Data Kualitas Udara Jakarta Jadi Sorotan Publik

JAKARTA – Kualitas udara di Ibu Kota kembali menjadi sorotan publik. Pada Kamis pagi, situs pemantau internasional IQAir menempatkan Jakarta sebagai kota dengan kualitas udara terburuk ketiga di dunia. Namun, data dari situs resmi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta justru menunjukkan kondisi berbeda, dengan mayoritas wilayah berada pada kategori baik hingga sedang.
Menurut catatan IQAir yang dipantau pukul 06.01 WIB, indeks kualitas udara (AQI) Jakarta mencapai angka 144. Angka ini termasuk kategori tidak sehat bagi kelompok sensitif, terutama anak-anak, lansia, dan penderita penyakit pernapasan. “Kualitas udara di Jakarta masuk kategori tidak sehat bagi kelompok sensitif dengan angka 144 mengacu pada penilaian PM2,5 dengan nilai konsentrasi 53 mikrogram per meter kubik,” demikian laporan IQAir.
Konsentrasi PM2,5 sebesar itu berarti 10,6 kali lebih tinggi dibandingkan pedoman kualitas udara tahunan yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). PM2,5 sendiri adalah partikel berukuran sangat kecil, kurang dari 2,5 mikron, yang bisa masuk jauh ke dalam paru-paru bahkan hingga ke aliran darah. Dampaknya dapat memicu gangguan pernapasan jangka pendek maupun masalah kesehatan serius dalam jangka panjang.
IQAir merekomendasikan agar kelompok rentan mengurangi aktivitas luar ruangan, serta menganjurkan penggunaan masker baik untuk kelompok sensitif maupun masyarakat umum.
Menariknya, meski data internasional menunjukkan kondisi buruk, hasil pemantauan situs udara.jakarta.go.id yang dikelola Pemprov DKI Jakarta menampilkan situasi berbeda. Dari 111 titik Stasiun Pemantau Kualitas Udara (SPKU) di wilayah Jakarta, tidak ada satu pun yang mencatat kategori tidak sehat. Rata-rata kualitas udara justru masuk dalam kategori baik dan sedang.
Perbedaan ini menimbulkan pertanyaan publik mengenai standar pengukuran yang digunakan. Sebagian pakar menyebutkan, perbedaan bisa terjadi karena variasi lokasi pemantauan, perbedaan metodologi perhitungan indeks, hingga perbedaan waktu pengambilan data. Faktor meteorologis, seperti arah angin, kelembapan, dan suhu, juga dapat memengaruhi konsentrasi polutan dalam jangka waktu tertentu.
Meski demikian, keduanya tetap menegaskan pentingnya kewaspadaan masyarakat terhadap polusi udara. Penggunaan masker, pembatasan aktivitas fisik di luar ruangan, serta menjaga sirkulasi udara dalam ruangan dianggap langkah preventif yang efektif untuk mengurangi paparan polutan.
Kasus perbedaan data ini sekaligus menunjukkan perlunya transparansi informasi dan edukasi publik. Masyarakat tidak hanya membutuhkan angka, tetapi juga penjelasan yang komprehensif mengenai arti dari setiap kategori kualitas udara. Dengan demikian, keputusan untuk melindungi diri dan keluarga bisa dilakukan secara tepat berdasarkan pemahaman yang benar. []
Siti Sholehah.