Percepat Bersih Kota, Tapi Abaikan Udara Warga

SAMARINDA – Pemerintah Kota Samarinda kembali mengandalkan pembangunan insinerator sebagai solusi cepat menekan timbunan sampah. Namun, di balik klaim efisiensi dan modernisasi itu, muncul kekhawatiran bahwa proyek ini justru bisa menjadi jalan pintas yang abai terhadap prinsip kehati-hatian lingkungan dan tata ruang perkotaan.

Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Samarinda, Suwarso, menyatakan pihaknya telah melakukan pengawasan langsung di lapangan sejak awal menjabat. “Begitu saya dilantik sebagai Plt Kepala DLH, saya langsung turun survei ke beberapa lokasi. Dari sepuluh titik yang direncanakan, lima sudah masuk tahap awal pengerjaan. Empat di antaranya progresnya sudah mencapai antara 60 hingga 80 persen,” ujarnya seusai rapat dengan Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Samarinda, Rabu (08/10/2025).

Namun di tengah optimisme itu, publik justru mempertanyakan apakah percepatan pembangunan benar-benar diimbangi dengan kajian risiko dan keterlibatan masyarakat. Pasalnya, sejumlah titik pembangunan disebut berdekatan dengan kawasan pemukiman dan pendidikan.

“Satu titik kami geser karena jaraknya terlalu dekat dengan SMP 38. Jadi saat ini ada empat titik yang secara fisik sudah mulai terbangun, yaitu di Aji Nur Ismail, Folder Air Hitam, Jalan Wanyi, dan Lempake Jaya,” jelas Suwarso.

Pemindahan lokasi tersebut menjadi sinyal bahwa perencanaan awal proyek masih menyisakan persoalan mendasar: lemahnya perhitungan dampak sosial dan ekologis. Di lapangan, banyak warga justru tidak tahu-menahu bahwa di dekat rumah mereka akan berdiri insinerator mesin pembakar sampah yang berpotensi menghasilkan limbah udara dan air jika tak diawasi ketat.

Suwarso menuturkan, sebagian besar proyek kini memasuki tahap akhir. “Sebagian tinggal memasang atap, sebagian lagi masih pada pekerjaan struktur bawah. Prinsipnya, dari sepuluh titik yang disiapkan, tinggal satu lokasi yang perlu penyesuaian posisi agar benar-benar clear and clean,” terangnya.

Ia menambahkan bahwa teknologi yang digunakan disebut ramah lingkungan dan aman bagi warga. “Meskipun teknologi insinerator yang digunakan sudah ramah lingkungan dan tidak membuang emisi ke udara, tetap ada proses pengolahan air sisa dengan empat bak penampungan,” katanya.

Namun, pernyataan ini patut diuji. Sejumlah pemerhati lingkungan menilai istilah “ramah lingkungan” sering digunakan secara longgar tanpa uji emisi terbuka dan sertifikasi independen. Proyek serupa di beberapa daerah bahkan memunculkan protes warga karena bau, asap, dan sisa pembakaran yang mencemari air tanah.

Ketika disinggung soal keterkaitan proyek ini dengan rencana Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa), Suwarso menilai keduanya berbeda skala. “PLTSa itu proyek jangka panjang. Kalau tahap awal seperti ini tidak kita kerjakan dalam skala kecil, maka timbulan sampah akan terus menumpuk. Jadi, pembangunan insinerator ini adalah bagian dari percepatan pengelolaan sampah sebelum PLTSa berjalan penuh,” paparnya.

Namun kebijakan “percepatan” inilah yang sering menjadi bumerang dalam tata kelola lingkungan. Alih-alih mengurai masalah, percepatan tanpa uji publik yang memadai justru berisiko menambah daftar masalah baru dari potensi pencemaran udara hingga persoalan limbah residu yang sulit diolah.

Suwarso juga menyebut adanya ketertarikan investor untuk mengelola sampah menjadi energi. “Ada investor yang sedang kami evaluasi. Mereka akan melakukan paparan di hadapan Wali Kota. Skemanya cukup menguntungkan karena tanpa tipping fee, lahannya disiapkan oleh mereka, dan dalam jangka waktu 28 tahun asetnya akan diserahkan ke Pemkot,” ungkapnya.

Skema kerja sama semacam ini tentu terdengar menarik, namun durasi 28 tahun dengan aset publik di tangan investor swasta menimbulkan tanda tanya besar: siapa yang paling diuntungkan dalam jangka panjang pemerintah atau masyarakat?

DLH menargetkan seluruh pembangunan fisik rampung pada Desember 2025, termasuk satu unit insinerator yang ditempatkan di kawasan TPA Sambutan. “Sesuai jadwal, pengerjaan insinerator ditargetkan selesai pada Desember 2025,” ujarnya.

Meski mendapat dukungan politik dari DPRD, sejumlah pihak menilai pengawasan tidak boleh berhenti pada aspek fisik semata. Yang lebih penting adalah keterbukaan data, transparansi emisi, dan jaminan bahwa proyek ini tidak sekadar menjadi proyek mercusuar.

Insinerator memang menjanjikan solusi cepat, tapi tanpa regulasi ketat dan keterlibatan publik, proyek ini bisa berubah menjadi bom waktu ekologis di tengah kota. []

Penulis: Rifky Irlika Akbar | Penyunting: Aulia Setyaningrum

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *