Pergerakan Tanah di Purwakarta Terjadi 3 Kali, Puluhan Rumah Warga Rusak

PURWAKARTA — Pergerakan tanah kembali terjadi di wilayah Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat. Setidaknya tiga kali kejadian tercatat di Kampung Cigintung RT 008/006 dan Kampung Sukamulya RT 004/001, Desa Pasirmunjul, Kecamatan Sukatani.
Peristiwa pertama terjadi pada Minggu (20/4/2025) sekitar pukul 22.00 WIB, disusul kejadian kedua pada Rabu (23/4/2025) pukul 20.00 WIB, dan terakhir pada Senin (19/5/2025) pukul 07.00 WIB.
Kepala Badan Geologi, M. Wafid, dalam keterangan resminya menyampaikan bahwa berdasarkan laporan BPBD Kabupaten Purwakarta dan analisis visual, gerakan tanah di lokasi tersebut termasuk jenis rayapan.
Fenomena ini ditandai dengan munculnya retakan pada permukaan tanah dan bangunan, bergerak secara lambat namun berpotensi menimbulkan dampak luas.
“Gerakan tanah tersebut telah menyebabkan kerusakan pada 48 rumah, dengan rincian 41 rumah mengalami kerusakan ringan, lima rusak sedang, dan dua rusak berat,” ujar Wafid dalam analisisnya pada Senin, 26 Mei 2025.
Berdasarkan analisis morfologi, daerah terdampak berada pada perbukitan dengan kemiringan lereng yang tergolong agak curam hingga curam, dengan ketinggian mencapai 370 meter di atas permukaan laut (mdpl).
Secara geologis, daerah tersebut tersusun atas endapan Aluvium Tua (Qoa) yang mengandung konglomerat dan pasir sungai dengan komposisi andesit dan basal, serta endapan batupasir tufan dan konglomerat lahar (Qos).
Peta Prakiraan Wilayah Terjadinya Gerakan Tanah yang diterbitkan Badan Geologi menunjukkan bahwa lokasi tersebut termasuk dalam zona potensi gerakan tanah menengah hingga tinggi. “Artinya, kawasan ini memiliki potensi gerakan tanah yang signifikan, terutama saat curah hujan tinggi atau di atas normal, atau ketika lereng mengalami gangguan,” jelas Wafid.
Penyebab utama gerakan tanah di wilayah ini antara lain ialah kemiringan lereng yang curam, tanah pelapukan yang tebal dan mudah jenuh air, serta intensitas curah hujan yang tinggi.
Untuk mengurangi risiko, Badan Geologi merekomendasikan agar warga mewaspadai tanda-tanda perkembangan gerakan tanah seperti meluasnya retakan, munculnya rembesan air baru, atau berubahnya kondisi mata air.
“Jika tanda-tanda tersebut terlihat, warga diminta segera mengungsi dan melaporkan ke pemerintah daerah,” tegas Wafid.
Ia juga menyarankan agar rumah-rumah dengan kerusakan berat tidak digunakan, serta dilakukan perbaikan terhadap bangunan yang rusak. Jika kondisi retakan terus berkembang, maka relokasi permukiman menjadi opsi yang perlu dipertimbangkan.
Dari sisi teknis, Wafid menyarankan upaya mitigasi seperti penutupan retakan dengan tanah liat yang dipadatkan, penanaman vegetasi berakar kuat untuk mengikat tanah, serta pembangunan sistem drainase permukaan yang baik dan kedap air.
“Pengendalian air rembesan dan pembangunan parit pencegat yang diarahkan ke aliran sungai juga penting untuk mencegah infiltrasi air yang memicu gerakan tanah,” tuturnya.
Dengan masih tingginya potensi bencana serupa, Badan Geologi meminta masyarakat dan pemerintah daerah untuk terus meningkatkan kewaspadaan dan kesiapsiagaan. []
Nur Quratul Nabila A