PM Albanese Tegaskan Negara Hadir Lindungi Komunitas Yahudi

CANBERRA – Pemerintah Australia menghadapi ujian serius dalam menjaga keamanan publik dan kerukunan sosial setelah penembakan massal yang menargetkan acara perayaan Hanukkah di Pantai Bondi, Sydney. Insiden berdarah yang terjadi pada 14 Desember lalu itu menewaskan sedikitnya 15 orang dan melukai sejumlah lainnya, sekaligus mengguncang rasa aman komunitas Yahudi di Australia.

Perdana Menteri Australia Anthony Albanese secara terbuka menyampaikan permintaan maaf kepada komunitas Yahudi atas tragedi tersebut. Ia mengakui bahwa serangan itu menjadi beban moral dan politik bagi pemerintahannya.

“Sebagai Perdana Menteri, saya merasakan beban tanggung jawab atas kekejaman yang terjadi selama saya menjabat sebagai Perdana Menteri, dan saya meminta maaf atas apa yang dialami komunitas Yahudi dan bangsa kita secara keseluruhan,” kata Albanese seperti dilansir AFP, Senin (22/12/2025).

Albanese menegaskan bahwa negara memiliki kewajiban mutlak untuk menjamin keselamatan seluruh warganya tanpa kecuali, termasuk kelompok minoritas yang kerap menjadi sasaran kebencian dan ekstremisme. Pemerintah, kata dia, akan mengambil langkah berkelanjutan untuk memastikan perlindungan tersebut.

“Pemerintah akan bekerja setiap hari untuk melindungi warga Yahudi di Australia, untuk melindungi hak mendasar mereka sebagai warga Australia agar mereka bangga dengan jati diri mereka, untuk menjalankan keyakinan mereka, untuk mendidik anak-anak mereka dan untuk terlibat dalam masyarakat Australia sepenuhnya,” ucapnya.

Permintaan maaf tersebut disampaikan di tengah terungkapnya fakta baru dalam penyelidikan penembakan massal itu. Berdasarkan dokumen pengadilan yang dirilis kepolisian, dua tersangka pelaku, Sajid Akram dan anaknya Naveed, diduga telah melakukan persiapan matang sebelum melancarkan aksi teror.

Dokumen kepolisian menyebutkan bahwa keduanya menjalani latihan senjata api di wilayah pedesaan New South Wales. Foto-foto yang dirilis aparat memperlihatkan para tersangka menggunakan senapan dan bergerak dengan pola yang dinilai sebagai manuver taktis. Temuan ini memperkuat dugaan bahwa serangan tersebut bukan aksi spontan, melainkan direncanakan secara sistematis.

Penyelidikan juga mengungkap bahwa kedua tersangka sempat merekam video propaganda pada Oktober lalu. Dalam video tersebut, mereka mengecam “Zionis” sambil duduk di depan bendera kelompok Islamic State (ISIS) dan menjabarkan motivasi ideologis di balik rencana serangan. Selain itu, mereka dilaporkan melakukan pengintaian ke kawasan Pantai Bondi pada malam hari beberapa hari sebelum aksi penembakan berlangsung.

Menanggapi ancaman ekstremisme yang kembali mencuat, Albanese menyatakan pemerintah akan mendorong penerapan undang-undang yang lebih tegas terkait ujaran kebencian dan terorisme.

“Kita tidak akan membiarkan teroris yang terinspirasi ISIS menang. Kita tidak akan membiarkan mereka memecah-belah masyarakat kita, dan kita akan melewati ini bersama-sama,” kata Albanese.

Sementara itu, kepolisian Australia mengonfirmasi bahwa Naveed, satu-satunya tersangka yang masih hidup, telah dipindahkan dari rumah sakit ke fasilitas penahanan. Naveed sebelumnya menjalani perawatan medis di bawah pengawasan ketat setelah ditembak polisi saat insiden terjadi. Ayahnya, Sajid Akram, tewas di lokasi setelah ditembak aparat keamanan.

Otoritas Australia menjerat Naveed dengan sejumlah dakwaan berat, termasuk tindak pidana terorisme dan 15 dakwaan pembunuhan. Kasus ini diperkirakan akan menjadi salah satu proses hukum terpenting dalam sejarah modern Australia terkait kejahatan bermotif ekstremisme.

Tragedi di Pantai Bondi tidak hanya meninggalkan duka mendalam, tetapi juga menjadi peringatan keras bagi Australia akan bahaya radikalisme dan pentingnya penguatan sistem pencegahan sejak dini, demi menjaga kohesi sosial dan nilai kebhinekaan yang selama ini dijunjung tinggi. []

Siti Sholehah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *