Polemik Royalti Musik, DPRD Minta Perlindungan untuk Pekerja Seni dan UMKM

ADVERTORIAL – Wacana kewajiban pembayaran royalti musik untuk pelaku usaha di ruang publik komersial di Samarinda mulai menimbulkan pro dan kontra. Beberapa pemilik kafe dan musisi lokal mengaku bingung dengan ketentuan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik. Mereka menilai aturan tersebut belum sepenuhnya adil bagi pelaku usaha yang mengandalkan pemutaran musik untuk menarik pelanggan.
Sekretaris Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim), Salehuddin, menyatakan dukungannya terhadap pelaksanaan kewenangan LMKN, tetapi mengingatkan agar kebijakan itu tidak membebani Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). “Semua harus berjalan tanpa menafikan yang lain. Pekerja seni harus diberi apresiasi sendiri, tetapi ketika royalti itu dijalankan, tidak mematikan UMKM, untuk yang kafe, restoran. Saya pikir itu,” katanya saat ditemui di kantor DPRD Kaltim, Jumat (22/08/2025).
Salehuddin menekankan pentingnya menghargai hak moral dan ekonomi pencipta lagu. Ia menilai setiap karya musik yang digunakan secara komersial harus diapresiasi melalui kompensasi yang layak. “Saya pikir kita juga menghargai hasil kreativitas masyarakat dan pembayaran royalti harus disesuaikan dengan kemampuan pihak UMKM seperti pelaku usaha rumah makan dan kafe,” ujarnya.
Politisi dari daerah pemilihan Kabupaten Kutai Kartanegara ini menambahkan, penerapan royalti musik seharusnya seimbang. Hal itu dimaksudkan agar pemilik kafe, restoran, hotel, dan tempat hiburan tetap bisa memutar lagu tanpa merasa terbebani secara finansial, sementara pencipta musik memperoleh haknya secara adil. “Dalam konteks royalti juga bisa disesuaikan dengan pelaku UMKM, kafe dan resto. Mesti seimbang,” tutup Salehuddin.
Beberapa pelaku usaha di Samarinda menyebut, kendala utama adalah besaran tarif royalti yang dianggap tidak sebanding dengan omzet usaha. Mereka berharap ada mekanisme fleksibel yang memungkinkan UMKM tetap beroperasi secara wajar tanpa mengurangi apresiasi terhadap musisi lokal.
Selain itu, sosialisasi terkait tata cara pembayaran royalti dan daftar lagu yang masuk kewajiban lisensi dinilai masih minim. Pemilik usaha berharap LMKN dan pemerintah daerah bisa memberikan panduan yang jelas agar hak pencipta terlindungi dan UMKM tidak dirugikan.
Dengan adanya kebijakan royalti musik, pemerintah diharapkan mampu menyeimbangkan antara perlindungan hak cipta dan keberlanjutan ekonomi usaha lokal. Jika diterapkan secara tepat, aturan ini tidak hanya melindungi pencipta musik, tetapi juga mendorong tumbuhnya industri kreatif yang berkelanjutan di Kota Samarinda.[]
Penulis: Selamet | Penyunting: Aulia Setyaningrum