Populasi Tiongkok Turun 2 Juta, Krisis Demografi Makin Nyata

BEIJING — Krisis demografi di Tiongkok memasuki fase yang semakin mengkhawatirkan.
Data terbaru dari Biro Statistik Nasional menyebut populasi negara berpenduduk terbesar di dunia ini kembali turun, dengan penurunan sebesar 2 juta jiwa dalam kurun waktu setahun.
Menurut laporan resmi yang dikutip oleh AFP, populasi Tiongkok pada akhir 2024 tercatat sebanyak 1,408 miliar, turun dari 1,410 miliar pada 2023.
Penurunan ini melanjutkan tren yang telah terjadi sejak dua tahun terakhir, dengan penyusutan populasi sebesar 2,8 juta jiwa pada 2023 dan 850 ribu jiwa pada 2022.
“Populasi mencapai 1,408 miliar pada akhir 2024, turun dari 1,410 miliar pada 2023,” tulis laporan resmi tersebut.
Kondisi ini menandai titik balik demografi Tiongkok setelah lebih dari enam dekade pertumbuhan populasi, dan kini mengarah pada tantangan ekonomi jangka panjang.
Darren Tay, Kepala Risiko Negara Asia di BMI, memperingatkan bahwa penurunan populasi dapat menggerus kekuatan pasar tenaga kerja dan menekan pertumbuhan ekonomi Tiongkok dalam satu dekade ke depan.
“Semakin maju suatu perekonomian, semakin banyak keterampilan yang dibutuhkan tenaga kerja, sehingga investasi untuk membesarkan anak pun ikut melonjak,” ujar Tay.
Lembaga riset Economist Intelligence Unit (EIU) memperkirakan bahwa populasi Tiongkok dapat menyusut menjadi 1,317 miliar pada 2050, dan bahkan turun hingga 732 juta pada 2100 jika tren saat ini tidak berubah.
Tingkat kelahiran yang rendah disebut sebagai penyebab utama penurunan populasi.
Tianchen Xu, ekonom senior EIU, mengatakan bahwa tingkat kesuburan di Tiongkok menurun jauh lebih cepat dibandingkan negara maju lain seperti Korea Selatan dan Jepang.
“Tingkat kesuburan di China menurun lebih cepat dibandingkan negara-negara lain seperti Korea Selatan dan Jepang,” ungkap Xu.
Salah satu fenomena sosial yang turut mempercepat krisis demografi ini adalah resesi seks, yaitu penurunan drastis dalam aktivitas seksual, pernikahan, dan kelahiran.
Faktor-faktor penyebabnya mencakup tingginya biaya hidup dan pendidikan anak, stres karier, perubahan pandangan terhadap pernikahan dan seks, hingga krisis jodoh dan ketimpangan gender.
Dari sisi fiskal, Tiongkok juga menghadapi tekanan anggaran pensiun yang kian besar seiring melonjaknya jumlah lansia.
EIU mencatat bahwa menaikkan usia pensiun menjadi 65 tahun pada 2035 dapat mengurangi defisit hingga 20% dan meningkatkan penerimaan bersih pensiunan sebesar 30%.
“Yang akan meringankan beban negara dan rumah tangga” tulis laporan EIU. []
Nur Quratul Nabila A