Proyek Sejarah Nasional Hanya Cantumkan 2 dari 12 Kasus HAM Berat, Pemerintah Tegaskan Fokus Narasi Positif

JAKARTA – Pemerintah Republik Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto memutuskan untuk hanya memasukkan dua dari total dua belas kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat yang telah diakui negara ke dalam proyek penulisan ulang sejarah nasional Indonesia.

Keputusan tersebut disampaikan Menteri Kebudayaan Fadli Zon dalam keterangannya pada Minggu (1/6//2025) di Depok, Jawa Barat.

Fadli menekankan bahwa proyek tersebut tidak dirancang khusus untuk mengulas sejarah pelanggaran HAM, melainkan bertujuan menyusun kembali sejarah nasional dari sudut pandang Indonesia-sentris dengan narasi yang membangun.

“Ini bukan proyek penulisan sejarah HAM, melainkan sejarah nasional Indonesia secara keseluruhan dari masa prasejarah hingga masa kini. Fokus kami adalah menyusun narasi yang positif dan berimbang,” ujar Fadli Zon, yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Umum Partai Gerindra.

Menurutnya, proyek tersebut tidak akan menghapus fakta sejarah yang telah tercatat dalam buku maupun kajian akademik lain, tetapi memilih untuk tidak menitikberatkan pada sisi kelam sejarah dalam versi narasi utama proyek tersebut.

“Kalau kita menulis sejarah dengan tujuan mencari kesalahan, setiap periode pasti punya. Tapi semangat kita justru untuk membangun memori kolektif yang memperkuat persatuan nasional,” kata Fadli.

Langkah ini memicu kritik dari sejumlah akademisi dan pegiat HAM. Mereka menilai keputusan tersebut berpotensi mengaburkan tanggung jawab negara dalam menuntaskan penyelesaian atas pelanggaran HAM masa lalu.

Dalam outline awal proyek sejarah, hanya dua peristiwa yang dicantumkan dari dua belas kasus pelanggaran HAM berat yang diakui Presiden Joko Widodo pada 11 Januari 2023.

Dua belas kasus itu mencakup peristiwa seperti pembantaian 1965–1966, Penembakan Misterius (Petrus), kerusuhan Mei 1998, hingga kekerasan di Aceh dan Papua. Namun beberapa peristiwa kunci, termasuk penghilangan paksa aktivis 1997–1998 dan tragedi Trisakti serta Semanggi, tidak masuk dalam rancangan awal penulisan sejarah baru.

Fadli menambahkan, narasi sejarah yang dibangun diharapkan lebih relevan dan inspiratif bagi generasi muda serta bebas dari bias kolonial.

“Kita ingin sejarah yang mempersatukan, bukan yang membuka luka,” pungkasnya. []

Nur Quratul Nabila A

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *