PT EUP Diminta Tuntaskan Polemik Lingkungan dan Sosial

ADVERTORIAL – Ketimpangan antara kemajuan industri dan dampak sosial-lingkungan kembali menjadi sorotan. Hal ini mencuat dalam kunjungan kerja Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) ke PT Energi Unggul Persada (EUP) di kawasan Bontang Lestari pada Kamis, (15/5/2025) lalu. Dalam lawatan itu, sejumlah persoalan serius ditemukan, mulai dari potensi pelanggaran lingkungan, konflik dengan nelayan, hingga kepatuhan terhadap ketentuan distribusi minyak goreng domestik.
Sekretaris Komisi IV DPRD Kaltim, Muhammad Darlis Pattalongi menegaskan bahwa peran pengawasan terhadap korporasi menjadi tanggung jawab moral dan konstitusional lembaga legislatif daerah.
“Kita tidak bisa membiarkan investasi besar berjalan tanpa memperhatikan dampaknya. Apalagi sudah empat kali terjadi kebakaran besar dan sistem limbahnya belum juga sesuai standar nasional,” tegas Darlis saat diwawancarai usai kunjungan.
PT EUP yang merupakan anak usaha Karunia Prima Nastari (KPN) Corp diketahui bergerak di bidang hilirisasi sawit. Dengan nilai investasi mencapai lebih dari Rp3 triliun, perusahaan ini memproduksi minyak goreng hingga 1,1 juta ton per tahun serta biodiesel sebesar 1,2 juta ton per tahun.
Namun di balik angka-angka fantastis itu, Darlis menyoroti buruknya sistem mitigasi bencana dan belum adanya sistem SPARING (pemantauan kualitas air limbah) yang menjadi syarat pengolahan limbah dari Kementerian Lingkungan Hidup. Hal ini dinilai rentan mencemari lingkungan sekitar.
Selain itu, ia juga menyinggung persoalan konflik sosial yang masih berlangsung dengan sekitar 185 nelayan dari Marangkayu. Para nelayan menuntut ganti rugi hingga Rp25 miliar akibat dugaan pencemaran laut yang ditimbulkan dari aktivitas industri PT EUP.
“Konflik dengan masyarakat pesisir harus segera dituntaskan. Jangan sampai masalah ini berlarut dan makin memperburuk citra perusahaan. Kami minta pendekatan keadilan dilakukan,” ucapnya.
DPRD juga meminta PT EUP memenuhi kewajiban Domestic Market Obligation (DMO) untuk minyak goreng, yakni mengalokasikan 20 persen dari total produksinya ke pasar lokal. Menurut Darlis, jika perusahaan benar-benar mematuhi aturan, maka masyarakat Bontang seharusnya tak kesulitan memperoleh minyak goreng murah.
“Dengan kapasitas produksi ribuan ton per hari, sangat tidak masuk akal kalau warga sekitar masih sulit mendapatkan minyak goreng. Ini soal keadilan distribusi,” katanya.
Meski demikian, ia mengapresiasi sikap manajemen perusahaan yang terbuka terhadap dialog dan siap menerima rekomendasi. Salah satu catatan positif yang diangkat adalah lebih dari 85 persen tenaga kerja PT EUP merupakan warga lokal.
“Setidaknya dari sisi tenaga kerja lokal sudah bagus. Tapi kita tidak boleh berhenti di situ saja,” tutup Darlis.
Penulis: Sulaiman
Penyunting: Enggal Triya Amukti