Putusan MK, Pilkada Berpotensi Mundur ke 2031

JAKARTA — Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pemisahan jadwal pemilihan umum (pemilu) nasional dan daerah dinilai akan membawa dampak besar terhadap mekanisme transisi kekuasaan di tingkat lokal.

Dalam keputusan bernomor 135/PUU-XXII/2024 itu, MK menyatakan bahwa pemilu lokal selanjutnya baru dapat digelar dua tahun hingga dua setengah tahun setelah pemilu nasional selesai.

Dengan jadwal Pemilu Nasional 2029 yang telah ditetapkan, maka pemilihan kepala daerah (pilkada) dan pemilihan legislatif tingkat daerah berpotensi mundur hingga tahun 2031.

Ini berarti, jabatan kepala daerah dan anggota DPRD yang masa jabatannya berakhir sebelum itu harus mengalami masa perpanjangan atau diisi oleh pelaksana tugas.

“Dengan melakukan rekayasa konstitusional (constitutional engineering) berkenaan dengan masa jabatan anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota, termasuk masa jabatan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota sesuai dengan prinsip perumusan norma peralihan atau transisional,” demikian bunyi pertimbangan hukum MK halaman 143.

Dalam pertimbangan hukum lainnya, MK juga menyatakan bahwa pemisahan jadwal pemilu untuk pertama kalinya akan berlaku pada Pemilu 2029 mendatang.

Pelaksanaan pemilu lokal akan dimulai setelah seluruh tahapan pemilu nasional dinyatakan berakhir, yang dihitung dari pelantikan anggota DPR, DPD, serta presiden dan wakil presiden.

“Untuk pemilihan umum anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota dan pemilihan umum gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota dilaksanakan sesuai dengan jangka waktu sebagaimana dinyatakan dalam pertimbangan hukum pada Sub-paragraf [3.18.1],” tulis MK dalam putusannya.

Putusan ini sekaligus menandai perubahan besar dalam praktik demokrasi elektoral di Indonesia, yang sebelumnya menjalankan pemilu secara serentak.

MK menilai pemilu yang digelar dalam waktu bersamaan menimbulkan sejumlah persoalan, mulai dari kelelahan pemilih akibat banyaknya surat suara yang harus dicoblos, hingga lemahnya konsolidasi partai politik karena waktu persiapan yang terbatas.

Sementara itu, Ketua Komisi II DPR RI Rifqinizamy Karsayuda menyatakan bahwa putusan MK akan menjadi bahan utama dalam pembahasan revisi Undang-Undang Pemilu.

“Kami memastikan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi ini akan menjadi salah satu concern bagi Komisi II DPR RI dalam menindaklanjuti,” ujar Rifqinizamy di Jakarta, Kamis (26/6/2025), dikutip dari Antara.

Ia mengakui bahwa jeda waktu antara 2029 hingga 2031 akan menimbulkan kebutuhan transisi, baik di jabatan legislatif maupun eksekutif daerah.

Untuk jabatan kepala daerah seperti gubernur, bupati, dan wali kota, pelaksana tugas (Plt) dapat ditunjuk. Namun untuk anggota DPRD, ia mengusulkan opsi perpanjangan masa jabatan.

“Untuk anggota DPRD satu-satunya cara adalah dengan cara kita memperpanjang masa jabatan,” jelasnya.

Rifqinizamy menekankan bahwa solusi perpanjangan maupun pengangkatan pejabat sementara harus dirumuskan dengan mengedepankan prinsip demokrasi dan konstitusionalisme.

Ia menambahkan, pihaknya masih menunggu arahan resmi dari Pimpinan DPR RI untuk mulai membahas Rancangan Undang-Undang Pemilu yang baru.

Dalam konteks ini, keputusan MK membuka ruang debat baru mengenai legitimasi kekuasaan dalam masa perpanjangan, representasi politik yang tertunda, serta potensi stagnasi di daerah akibat keterlambatan regenerasi politik.

Sejumlah pengamat politik menyatakan bahwa keputusan ini bisa berdampak terhadap partisipasi politik dan dinamika lokal, terutama bila masa transisi tidak diatur secara transparan dan akuntabel. []

Nur Quratul Nabila A

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *