Rasio Pajak Rendah, Bamsoet Dorong Evaluasi Kebijakan Fiskal

JAKARTA – Persoalan kebocoran pajak kembali menjadi sorotan tajam di tengah upaya pemerintah memperkuat kemandirian fiskal. Anggota DPR RI sekaligus dosen tetap Program Studi Doktor Ilmu Hukum Universitas Borobudur, Bambang Soesatyo atau Bamsoet, menilai sistem perpajakan nasional masih menyimpan persoalan mendasar yang berpotensi menggerus kedaulatan fiskal negara jika tidak segera dibenahi secara menyeluruh.

Sorotan tersebut menguat setelah adanya temuan Bank Dunia mengenai rendahnya rasio penerimaan pajak Indonesia, serta pengakuan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa terkait dampak Undang-Undang Cipta Kerja yang menyebabkan potensi penerimaan negara berkurang sekitar Rp 25 triliun per tahun. Menurut Bamsoet, dua fakta ini menunjukkan perlunya evaluasi serius terhadap arah kebijakan fiskal nasional.

Hal itu disampaikan Bamsoet saat mengajar mata kuliah Politik Hukum dan Kebijakan Publik pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Borobudur di Jakarta. Dalam paparannya, ia menekankan bahwa persoalan pajak bukan semata isu teknis, melainkan menyangkut keberlanjutan pembangunan dan kemampuan negara membiayai kebutuhan dasar masyarakat.

“Temuan Bank Dunia ini sejalan dengan realitas yang dirasakan di dalam negeri. Ketika potensi pajak yang hilang mencapai ratusan triliun rupiah, itu berarti ada masalah mendasar dalam desain kebijakan dan tata kelola perpajakan kita. Ini harus menjadi peringatan serius bagi pemerintah,” ujar Bamsoet dalam keterangannya, Sabtu (13/12/25).

Berdasarkan laporan Bank Dunia, rasio penerimaan pajak Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) masih berada di bawah 10 persen dan diproyeksikan hanya sekitar 9,9 persen pada 2025. Angka tersebut tertinggal dibandingkan sejumlah negara ASEAN dengan tingkat pembangunan ekonomi yang relatif setara, seperti Vietnam, Filipina, dan Thailand. Kondisi ini menunjukkan bahwa kapasitas pemungutan pajak Indonesia masih jauh dari potensi optimalnya.

Selain itu, Bank Dunia juga mencatat adanya kesenjangan potensi pajak atau tax gap yang signifikan. Selisih antara pajak yang seharusnya dipungut dengan realisasi penerimaan diperkirakan mencapai 6 hingga 6,4 persen dari PDB setiap tahun. Jika dikonversikan, nilai tersebut setara dengan ratusan triliun rupiah yang tidak masuk ke kas negara akibat berbagai faktor.

“Kebocoran tersebut diperparah oleh struktur ekonomi yang masih didominasi sektor informal dan ekonomi bawah tanah. Bank Dunia memperkirakan porsi ekonomi yang tidak tercatat di Indonesia mencapai hampir seperlima dari PDB. Kondisi ini membuat jutaan aktivitas ekonomi tidak tersentuh sistem perpajakan, sementara beban pajak terus bertumpu pada kelompok wajib pajak yang sama,” tutur Bamsoet.

Ia menambahkan, pengakuan Menteri Keuangan terkait dampak fiskal UU Cipta Kerja harus menjadi bahan refleksi bersama. Menurutnya, kebijakan yang bertujuan mendorong investasi dan kemudahan berusaha tetap harus diimbangi dengan perhitungan fiskal yang matang agar tidak melemahkan penerimaan negara.

“Kalau satu undang-undang saja berdampak pada hilangnya puluhan triliun rupiah, negara wajib bertanya apakah manfaat ekonominya sebanding? Reformasi pajak harus berani mengoreksi kebijakan yang terbukti bocor dan menggerus penerimaan negara,” tutur Bamsoet.

Lebih lanjut, Bamsoet menilai reformasi perpajakan tidak dapat dilakukan secara parsial. Rendahnya rasio pajak, tingginya kebocoran, serta keluhan wajib pajak terhadap administrasi menunjukkan bahwa pembenahan harus mencakup kebijakan, sistem, dan integritas birokrasi secara bersamaan.

“Pajak merupakan instrumen kedaulatan fiskal. Ketika kebocoran dibiarkan dan basis pajak tidak diperluas secara adil, negara akan terus menghadapi ruang fiskal yang sempit dan bergantung pada utang. Situasi ini berisiko menghambat pembiayaan pendidikan, kesehatan, perlindungan sosial, dan pembangunan infrastruktur jangka panjang,” papar Bamsoet.

Ia pun mendorong pemerintah dan DPR untuk menjadikan peringatan Bank Dunia serta pengakuan Menteri Keuangan sebagai momentum perbaikan menyeluruh sistem perpajakan nasional.

“Pajak adalah fondasi kedaulatan fiskal. Tanpa sistem pajak yang kuat dan adil, ruang fiskal negara akan terus sempit dan ketergantungan pada utang sulit dihindari. Reformasi pajak harus adil, transparan, dan berani menutup kebocoran agar pembangunan bisa berjalan berkelanjutan,” tutup Bamsoet. []

Siti Sholehah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *