Revitalisasi Kebijakan Green Of Extra Ordinary Crime In Law Enforcement Terhadap Perizinan Alih Fungsi Lahan Pertanian Menjadi Lahan Pemukiman
Richard Handiwiyanto
(Mahasiswa Doktor Ilmu Hukum (DIH) Angkatan 46 Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya)
1.1 Pendahuluan
Deforestasi di luar Pulau Jawa terutama dilakukan oleh konsesi-konsesi HPH, perkebunan serta program-program transmigrasi, dengan demikian pihak-pihak swasta dan pemerintah merupakan pelaku-pelaku utama yang dominan. Di beberapa wilayah di Pulau Jawa dan sebagian wilayah lainnya di luar Pulau Jawa, tekanan penduduk lokal, proses perambahan hutan merupakan fenomena yang cukup umum. Di lain pihak, pada daerah-daerah seputar perkotaan ekspansi aktifitas urban (suburbanisasi) merupakan faktor utama terjadinya alih fungsi lahan-lahan pertanian ke aktifitas urban (Rustiadi, 2001).
Saat ini sudah banyak berubah dari lahan pertanian menjadi bangunan perumahan dan yang mendukung kegiatan pariwisata. Permasalahan yang terjadi setelah adanya perubahan alih fungsi lahan adalah banyaknya sedimen yang mengendap di hilir sungai akibat adanya erosi di DAS dan air permukaan banyak yang terbuang ke muara sungai dengan kurangnya resapan air akibat lahan pertanian berubah menjadi daerah pemukiman (Agung & Eryani, 2014).
Perkembangan zaman dalam sektor jasa, properti, industri, dalam beberapa tahun terakhir membawa tekanan kebutuhan lahan tanah di sektor pertanian terutama sawah, sehingga menimbulkan konflik dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat diamana pemerintah mengalami dilema dalam mengatasinya, karena sektor pertanian menjadi bagian penting untuk memenuhi kebutuhan pangan dan disektor lain masyarakat sangat mebutuhkan lahan untuk industri, properti dan hal-hal lain yang mengharuskan alih fungsi lahan persawahan[1].
Apabila melihat lebih jauh tentang perubahan paradigma lahan pertanian sekarang adalah berfikir tentang semakin mempersempit ruang dan tata kelola wilayah termasuk lahan pertanian yang sudah dapat dimanfaatkan sebagai lahan investasi maupun pemukiman. Meskipun demikian ada semacam aturan hukum tertulis yang sudah ada tentang Rencana Tata Kelola Ruang dan Wilayah dalam membangun lingkungan lahan pertanian yang berkelanjutan atau disebut juga dengan environment of sustainable development. Hal ini terjadi di Kabupaten Sidoarjo, di mana di masa Pandemi Covid-19 ini pemerintah (DPRD) Kabupaten Sidoarjo masih memperhatikan dan mengfokuskan pada rencana perlindungan dan penegakan hukum terhadap lahan pertanian yang sudah beralih fungsi menjadi lahan pemukiman maupun perumahan untuk investasi.
Hal tersebut sesuai dengan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 6 tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Sidoarjo, terutama di beberapa kawasan Sidoarjo, termasuk dalam Pasal 65 huruf f menegaskan bahwa Kawasan Wonoayu Sidoarjo menegaskan bahwa industri diperbolehkan masuk ke daerah Wonoayu dengan kisaran 20% (70% terbangun dan 30% ruang terbuka).
Fakta membuktikan bahwa Kawasan tersebut sekarang masih banyak dipergunakan Kawasan industri yang notabene lebih dari 5.358 ha dimanfaatkan sebagai lahan industri dan pemukiman, di mana sebelumnya adalah lahan pertanian yang masih produktif, subur, dan irigasi teknis di daerah pinggiran perkotaan ataupun perdesaan. Akumulasi yang ditimbulkan adalah berkurangnya kemampuan produksi pangan di tengah pertumbuhan penduduk yang tidak terkendalikan. Tentunya hal tersebut menjadi mudah penanganannya jika pemerintah pusat dan pemerintah daerah mempunyai satu visi dan misi sama yang didukung oleh masyarakat sebagai pemilik tanah.
Apabila melihat lebih dalam tentang sistem pemerintahan daerah itu biasanya menganut sistem otonomi daerah, di mana pemerintah daerah yang mempunyai kewenangan sendiri di mana keberadannya terpisah dengan otoritas yang diberikan oleh pemerintah untuk mengalokasikan sumber material yang bersifat substansial mengenai fungsi yang berbeda[2]. Hal tersebut apabila dihubungkan dengan ketersediaan lahan pertanian sepertinya terlalu memaksa, karena pada konteks hukum tata pemeritahan daerah dikatakan bahwa sebagaian besar Undang-Undang Otonomi Daerah[3] beberapa bagian tidak berpihak pada suatu kualitas daya dukung lahan pertanian bahkan lebih besar lagi adalah ketika daerah mempunyai otoritas maupun kewenangan untuk mengelola daerahnya sendiri, maka masih dapat dimungkinkan terjadi eksplorasi alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan pemukiman yang dapat dimanfaatkan oleh investor asing.
Pada akhirnya tidak ada produktifitas lahan pertanian untuk swasembada pangan dan kerusakan lingkungan ketika sudah menjadi lahan pemukiman. Walaupun demikian, keputusan mengenai konversi lahan pertanian menjadi lahan non-pertanian tersebut memerlukan perencanaan, agar tidak terjadi dampak negatif (erosi, degradasi lahan, polusi). Jika perubahan tersebut tanpa ada pengendalian, maka akan terjadi banyak kerugian, baik dari segi fisik maupun aspek sosial ekonomi masyarakat. Sebagai upaya pengendalian dalam hal konversi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian tersebut salah satu nya melalui mekanisme perizinan. Secara umum, tujuan dan fungsi dari perizinan adalah untuk pengendalian dari pada aktivitas pemerintah dalam hal-hal tertentu, di mana ketentuannya berisi pedoman-pedoman yang harus dilaksanakan dengan baik dari yang berkepentingan ataupun oleh pejabat yang berwenang.[4]
Bertalian dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, faktor utama yang harus menjadi fokus perhatian adalah terkait dengan perizinan, karena faktor perizinan dapat dijadikan pegangan bagi pelaku usaha yang akan mengelola lingkungan. Perizinan lingkungan dikaitkan dengan keharusan memperoleh AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) sebagai instrumen pencegahan pencemaran lingkungan, di mana asas ini telah dituangkan dalam bentuk produk hukum, sehingga menjadi kewajiban yang harus dipatuhi oleh setiap orang di Indonesia, artinya untuk terbitnya atau disetujuinya suatu izin lingkungan hendaknya harus diperoleh lebih dahulu AMDAL. Sejalan dengan pandangan Suparto Wijoyo[5], bahwa berkaitan dengan perizinan lingkungan terpadu seharusnya bertumpu pada pada prinsip-prinsip prosedur administratif perizinan lingkungan menurut ”good environmental governance” (Sukananda & Nugraha, 2020).
Tanpa mempertimbangkan besar-kecilnya risiko kerusakan. Apabila memang akan dilakukan evaluasi terhadap pengunaan AMDAL dengan berbagai mekanisme perubahan kebijakan sistem perizinan yang nantinya diberlakukan tentunya seharusnya AMDAL tetap menjadi prioritas kunci syarat diperolehnya izin untuk pemukiman, karena apabila sebaliknya AMDAL bukan lagi menjadi prioritas sebagaimana yang disebut peneliti sebagai wacana untuk mereduksi keberadaan AMDAL, hal ini dapat mempercepat proses kerusakan ekologi dan sosial, wacana ini tentu menggambarkan bahwa kemajuan ekonomi dengan mendorong masuknya investasi yang bergejolak dengan alih fungsi lahan pertanian ke pemukiman dengan mengabaikan ekologi yang ada, atau dapat dikatakan bahwa demi masuknya investasi, maka silahkan melakukan pengrusakan terhadap lingkungan, hal ini merupakan pemahaman yang sangat keliru.
Seperti pada Pasal 3 UU No. 41 Tahun 2009 Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan diselenggarakan dengan tujuan: 1. Melindungi kawasan dan lahan pertanian pangan secara berkelanjutan. 2. Menjamin tersedianya lahan pertanian pangan secara berkelanjutan. 3. Mewujudkan kemandirian, ketahanan dan kedaulatan pangan. 4. Melindungi kepemilikan lahan pertanian pangan milik petani. 5. Meningkatkan kemakmuran serta kesejahteraan petani dan masyarakat. 6. Meningkatkan kemakmuran serta kesejahteraan petani dan masyarakat. 7. Meningkatkan penyediaan lapangan kerja bagi kehidupan yang layak. 8. Mempertahankan keseimbangan ekologis, dan 9. Mewujudkan revitalisasi pertanian.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dihajatkan untuk menjamin penyediaan lahan pertanian pangan yang berkelanjutan, sebagai sumber pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan dengan mengedepankan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan dan kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan, kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Dengan melihat hal tersebut, maka juga harus melihat peraturan perundang-undangan di bawahnya.[6]
Kepala Dinas Pangan dan Pertanian Kabupaten Sidoarjo, menegaskan hingga saat ini Peraturan Daerah (Perda) Nomor 6 tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Sidoarjo masih proses revisi perda penyusunan dan pembahasan RTRW, di mana dalam kerja itu LP2B yang semula 12.205 hektar menjadi 7.000 hektar.[7]
Terhadap cakupan di atas, maka apabila melihat naskah akademik Penyusunan Revisi RTRW Kabupaten Sidoarjo Tahun 2009-2029 dalam pembentukan tata urutan perundang-undangan dan legislasi nasional yang merupakan dokumen negara yang dijadikan acuan maupun pedoman dalam pengambilan keputusan dan kebijakan pemerintah untuk memberikan kepastian hukum dan ruang bagi masyarakat terutama masyarakat petani terhadap alih fungsi lahan pertanian demi kesejahteraan masyarakat.
Menurut peneliti bahwa naskah akademik terkait dengan Penyusunan Revisi RTRW Kabupaten Sidoarjo Tahun 2009-2029 dikandung maksud bahwa pembentukan struktur ruang dilakukan dengan menata hierarki kota yang ada secara efisien, tingkatan orde kota tersebut dibentuk oleh perkembangan dan pertumbuhan kota, yang dipengaruhi oleh beberapa faktor: (1) Keadaan fisik tanah meliputi topografi, sungai, geologi, kemampuan atau jenis tanah; (2) Jumlah dan perkembangan penduduk; (3) Kegiatan masyarakat, baik kualitas maupun kuantitas; (4) Kelengkapan fasilitas, utilitas dan sarana infrastruktur kota.
Dengan adanya pembentukan struktur ruang tersebut, maka metode penentuan kawasan atau ruang sebagai fungsi lahan menurut naskah akademik menggunakan beberapa pendekatan dan model yakni (a) Model Analisis Penentuan Kawasan Lindung berdasarkan SK Mentan No.837/ Kpts UM/II/1980; (b) Model Analisis Penentuan Kawasan Lindung Menurut Keppres No. 32/1990; dan (c) Model Analisis Klasifikasi Penggunaan Lahan Menurut Sistem USDA. Model dan pendekatan dungsi kawasan tersebut harus mempertimbangkan aspek sosial budaya dan masyarakat, aspek daya dukung lingkungan, aspek kemanusiaan, aspek jumlah penduduk dan distribusi penduduk serta aspek perekonomian dan perdagangan serta pengembangan invertasi.
Klasifikasi diatas harus juga melihat faktor lainnya dengan cara tidak mengubah pada tempatnya, oleh karenanya isu strategis pemerintah daerah pada tataran perda harus diperhatikan sebagaimana peneliti jelaskan di atas terkait dengan aspek-aspek yang mendukung daya dukung lingkungan dan AMDAL, sehingga isu strategis ini bisa dirubah menjadi pembangunan lingkungan yang berkelanjutan (environmental of sustainable development) serta apa yang dicita-citakan oleh masyarakat petani dalam pemanfaatan lahan pertanian untuk pangan bisa tercapai.
Alih fungsi lahan pertanian dan perikanan untuk kegiatan budidaya lainnya seperti industri dan permukiman yang disebabkan oleh tingginya permintaan lahan (laju pertumbuhan penduduk mencapai 6% per tahun)serta ketidakmampuan menghadapi dampak lingkungan kawasan (pencemaran yang berdampak pada penurunan produksi) dan beresiko terhadap penurunan ketahanan pangan
Pada tingkatan perizinan, maka alih fungsi lahan pertanian tersebut menjadi penting, karena perizinan tersebut dapat dikatakan sebagai alat untuk melakukan kontrol pada suatu kegiatan masyarakat. Dengan melakukan suatu penegakan hukum dan perlindungan hukum dalam kerangka pengetatan dan penguatan izin alih fungsi lahan pertanian menjadi pemukiman akan menjadi lebih efektif dan mengurangi dampak lingkungan terhadap keberlangsungan ekosistem lingkungan lahan pertanian.
Dengan melihat Peraturan Daerah (Perda) Nomor 6 tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Sidoarjo, maka sudah jelas bahwa wilayah Kabupaten Sidoarjo secara konstitusional normatif melihat potensi pangan dan pertanian untuk dimanfaatkan sebagai sumber daya alam dan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Perlu dicermati bahwa ada paradigma pergeseran hukum terhadap alih fungsi perizinan dalam tata kelola pembangunan lingkungan lahan pertanian menjadi lahan permukiman terutama pada Pasal 10 Perda No. 6 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), di mana visi dan misi[8] penataan ruang wilayah di Kabupaten Sidoarjo ini menimbulkan multitafsir menurut teori argumentum a contrario[9] oleh karena tidak sesuai dengan UU RI. No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan terutama pada Pasal 44 ayat (1) yang menegaskan bahwa suatu lahan di mana sudah ditetapkan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan dilindungi dan dilarang dialihfungsikan.
Melihat subtansi hukum lainnya adalah Pada Perpres RI. No. 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria terutama pada Pasal 1 angka 16 jo angka 17[10] di mana sudah menjelaskan bahwa ada pemetaan lahan pertanian untuk pangan yang berkelanjutan dengan pemetaan untuk non-pertanian untuk pembangunan, artinya bahwa sudah jelas diatur dan dipetakan berdasarkan aturan pembentuk undang-undang, sehingga sebenarnya tidak ada masalah dengan aturan yang dibuat.
Pembangunan lahan pertanian terhadap Perda No. 6 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) akan terjadi resiko alih dungsi lahan pertanian pangan menjadi permukiman sebagaimana pergeseran norma hukum dan paradigma hukum ketika berpotensi pada pengelolaan dan pelestarian daya dukung lingkungan, karena batas luasan lahan pertanian untuk pangan dapat mengabaikan ketersediaan lahan dan pembangunan lahan pertanian yang sudah beralih fungsi menjadi permukiman dapat secara masif tanpa memandang aspek pembangunan lingkungan yang berkelanjutan, kemudian tidak dibuat tentang perizinan AMDAL yang akan mengabaikan lingkungan hidup dan merusak lingkungan pertanian untuk pangan bagi kesejahteraan rakyat serta juga dapat merusak keseimbangan ekosistem dan keanekaragaman hayati
Dengan melihat hal tersebut di atas, maka peneliti memberikan kajian terhadap apa yang telah peneliti akan lakukan dengan mengklasifikasikan menjadi beberapa aspek permasalahan hukum terhadap kajian penelitian ini, antara lain :
- Problematika Hukum Sosiologis. Seringkali terjadi pembatasan sosial dan budaya terhadap keanekaragaman hayati pertanian milik petani untuk pemanfaatan pangan dan sumber daya lingkungan berkelanjutan, di mana pada tataran Perda ada konflik sosiologis antara hak-hak para petani dalam rangka pengelolaan lahan pertanian untuk pangan yang berkelanjutan, sehingga menimbulkan kesenjangan ekonomi dengan pembuat undang-undang, bahkan sampai pada tataran kebijakan pemerintah daerah. Kesenjangan ini muncul ketika adanya tarik ulur alih fungsi dari lahan pertanian untuk pangan dan kesejahteraan rakyat petani menjadi permukiman. Meskipun demikian, undang-undang sudah melarang untuk alih fungsi lahan pertanian untuk pangan yang berkelanjutan menjadi permukiman, sehingga akan merusak lingkungan dan mematikan lahan perekonomian rakyat bagi petani.
- Problematika Hukum Yuridis. Pasal 10 Perda No. 6 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang mengatur tentang tujuan adanya visi dan misi pengelolaan lahan pertanian untuk pangan yang berkelanjutan telah menimbulkan paradigma pergeseran norma yang tidak sesuai dengan UU RI. No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan terutama pada Pasal 44 ayat (1) yang menegaskan bahwa suatu lahan di mana sudah ditetapkan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan dilindungi dan dilarang dialihfungsikan. Subtansi hukum lainnya juga ada Perpres RI. No. 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria terutama pada Pasal 1 angka 16 jo angka 17
- Problematika Hukum Teoritik. visi dan misi penataan ruang wilayah di Kabupaten Sidoarjo ini menimbulkan multitafsir menurut teori argumentum a contrario oleh karena tidak sesuai dengan UU RI. No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan terutama pada Pasal 44 ayat (1) yang menegaskan bahwa suatu lahan di mana sudah ditetapkan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan dilindungi dan dilarang dialihfungsikan.
1.2 Metode Penelitian
Penulisan pada jurnal ini termasuk dalam penelitian hukum yuridis normatif (Marzuki, 2008), yaitu meneliti tentang aspek pada pertanggungjawaban pidana wartawan terhadap adanya materi pemberitaan yang mengandung unsur pencemaran nama baik. Pendekatan penulisan menggunakan pendekatan yang berdasarkan ketentuan undang-undang, kasus dan juga fakta. Metode yang digunakan pada pengumpulan data yaitu dengan metode sistem kepustakaan. Pada metode dalam melakukan analisis data secara teknik dan sifatnya deskriptif yang kualitatif yaitu cara mendiskripsikan hasil dari penelitian yang selanjutnya disesuaikan dengan teori serta selanjutnya melakukan analisis.
1.3 Hasil dan Pembahasan
1.3.1 Tata Kelola Lingkungan Tanpa Ada Kejahatan Green of Extra Ordinary Crime In Law Enforcement
Kawasan permukiman adalah sebidang lahan yang diperuntukkan bagi pengembangan permukiman[11] (Direktorat Jendral Cipta Karya, 1997). Kawasan menurut UU RI No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang merupakan bagian dari wilayah yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek fungsional, yang terdiri atas kawasan lindung dan budidaya. Kawasan lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam dan sumberdaya buatan.
Kawasan budidaya adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan, seperti hutan produksi, kawasan pertanian, kawasan industri, kawasan berikat, kawasan pariwisata, kawasan tempat beribadah, kawasan pendidikan, kawasan pertahanan keamanan, kawasan perkotaan, kawasan perdesaan dan kawasan permukiman. Permukiman sendiri menurut UU RI Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman adalah merupakan bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung kehidupan dan perikehidupan dan penghidupan. Tempat tinggal yang dimaksud disini adalah tempat tinggal untuk seseorang atau satu keluarga yang terdiri atas rumah dan pekarangan. Oleh karena itu salah satu komponen permukiman adalah perumahan.
Perumahan sendiri mempunyai arti kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian (alami, buatan dan sosial) yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan, dalam hal ini adalah sarana dan prasarana lingkungan buatan[12]. Kelengkapan sarana dan prasarana lingkungan inilah yang membedakan antara permukiman di perdesaan dan perkotaan. Kota tidak akan berfungsi baik tanpa ada sarana dan prasarana yang lengkap. Kota yang dimaksud disini adalah suatu daerah yang berpenduduk relatif besar dan pada umumnya bersifat non agraris, cenderung berpola hubungan rasional, ekonomis dan individualis.
Keberlanjutan secara sederhana dapat dipahami sebagai bertahan hidup atau belangsung secara lama. Keberlanjutan dalam konteks lingkungan hidup selain perspektif jangka waktu yang lama juga mempertimbangkan sumberdaya alam bumi. Menurut Salim[13], keberlanjutan hendaknya dikaitkan dengan keberlanjutan secara ekonomi, sosial dan lingkungan hidup, baik itu lingkungan alami, buatan atau sosial budaya.
Pertama, Pengembangan Permukiman dan Teori Perencanaan Kota. Pengembangan permukiman dalam skala besar tidak dapat dipisahkan dengan perencanaan suatu kota, karena pada hakekatnya kota adalah tempat terkonsentrasinya permukiman penduduk dalam skala besar. Hal ini didukung pendapat Kirmanto[14] yang menyatakan bahwa pembangunan kota termasuk di dalamnya pengembangan kawasan permukiman atau pembangunan permukiman. Dengan memperhatikan pengertian permukiman, perumahan dan kota tersebut maka untuk merencanakan pembangunan permukiman tidak lepas akan pembahasan tentang teori perencanaan kota.
Teori dan praktek perencanaan kota atau permukiman modern berurusan dengan membentuk dan menata lingkungan fisik buatan dan sosial manusia melalui desain maupun kebijakan yang rasional. Perencanaan kota ini merupakan respons terhadap buruk dan kacaunya lingkungan buatan fisik dan sosial kota-kota yang unliveable, yaitu antara lain lingkungan yang tidak sehat, tidak aman, tidak nyaman, tidak tersedianya lapangan pekerjaan dan perumahan yang layak, tuntutan akan kualitas hidup tetap tidak berubah. Pendekatan perencanaan kota senantiasa mengalami perubahan.
Dari sejarah perencanaan kota, kota dapat diamati sebagai: taman, karya seni, perluasan arsitektur, drama sosial, sistem dan sebagainya. Pada awalnya, perencanaan kota modern muncul karena gerakan refomasi kota sebagai reaksi terhadap teror fisik dan sosial yang terjadi di kota-kota industri. Dari beberapa literatur ditunjukkan bahwa berbagai gerakan atau aliran pada masa ini adalah: gerakan taman kota (parks movement) yang dipelopori oleh Fredick law Olmsted, ”city beautiful” dan ”civic art”, kota taman (garden city) yang diusulkan pertama-tama oleh Ebenezer Howard, diikuti oleh Patrick Geddes, kemudian dipopulerkan oleh Leis Mumford di Amerika. Pada tahun 1933 CIAM (Kongres Internasional Arsitektur Modern) menetapkan Charter of Athena, yaitu manifesto yang mengecam sakitnya kota-kota industri dan meletakkan dasar-dasar persyaratan fisik bagi lingkungan kota yang indah, manusiawi dan sehat[15].
Setelah perang dunia berakhir dan keadaan mulai stabil, terjadi perubahan ide-ide perencanaan yang signifikan. Pada tahun 1960-an muncul dua macam teori perencanaan (yang sebelumnya perencanaan dianggap common sense), yaitu: cara pandang sistem dan cara pandang rasional. Keduanya dikritik sebagai meletakkan rencana dan keputusan perencanaan lingkungan kota yang ingin diciptakan, tanpa memasukkan aspek manusia, walaupun pendekatan ini sangat mendominasi dunia perencanaan kota. Kritik juga dimunculkan oleh Davidoff[16] tentang pentingnya muatan nilai dan aspek politik dari perencanaan melalui publikasinya ”Advocacy and Pluralism Planning”.
Secara epistimologis, istilah ”berkelanjutan” (suistanable) berasal dari kata Latin sub dan tenere, yang berarti to uphold atau to keep, mengandung makna menopang atau menjaga. Pemakaiannya secara konsepsional, dapat ditelusuri pada konsep ’suistanable yield’ yaitu ‘renewable resources managed so as not to be depleted overtime’[17], seperti yang dikembangkan ahli-ahli kehutanan Jerman, yang kemudian juga mempengaruhi Aldo Leopold dalam pengembangan gagasannya tentang etika bumi (land ethic) yang memperkenalkan kepada etika lingkungan akademik suatu pendekatan baru yaitu ekosentrisme Leopold dalam Armstrong & Botzler[18].
Penggunaan konsep ’sustainable’ secara spesifik pertama kali dapat ditemukan dalam buku ’Limits to Growth’ oleh Donella Meadows dan peneliti lain dari MIT[19]. Secara sederhana keberlanjutan dapat dipahami sebagai bertahan hidup atau berlangsung lama. A sustainable system is one which survives or persists[20]. Dalam biologi berarti mencegah kerusakan dan hidup untuk bertahan dan berproduksi. Dalam ekonomi berarti mencegah kerusakan dan kolaps, melindungi terhadap instabilitas dan diskontinuitas. Pada dasarnya keberlanjutan mempertimbangkan temporality (kesementaraan) dan khususnya longevity (umur panjang). Dalam penggunaannya ada kesulitan dalam mendefinisikan keberlanjutan karena adanya ketidakpastian ilmiah dan ketidakpastian sosial ekonomi[21], ketidakpastian ilmiah karena adanya keterbatasan pengetahuan dan prediksi sistem-sistem fisik maupun natural, ketidakpastian sosial ekonomi karena adanya keterbatasan pengetahuan dan prediksi sistem-sistem sosial dan infrastruktur.
1.3.2 Implikasi Yuridis Tata Kelola Lingkungan dalam Kerangka Penindakan Green of Extra Ordinary Crime In Law Enforcement
Sebenarnya ketahanan pangan (food security) sangat erat kaitannya dengan persediaan pangan. Pangan merupakan komoditas penting dan strategis, karena posisinya sebagai kebutuhan dasar yang harus dipenuhi. Produksi pangan selama ini di dominasi dari hasil tanaman padi yang ditanaman di lahan sawah subur, baik (sawah irigasi dan tadah hujan). Dengan demikian bila konversi lahan terus meningkat maka dapat mengganggu produksi dan ketersediaan pangan. Pertumbuhan penduduk, perkembangan sektor industri, dan perumahan menyebabkan peningkatan kebutuhan akan lahan pertanian[22].
Mengingat dampak yang ditimbulkan oleh adanya konversi lahan yang begitu luas, maka diperlukan upaya pengendalian yang dapat mengontrol laju alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian dengan menjadikan aspek daya dukung lingkungan dan ketersediaan lahan sebagai salah satu pertimbangan. paya pengendalian alih fungsi lahan pertanian dan perlindungan terhadap lahan pertanian produktif perlu didukung oleh suatu peraturan perundang-undangan (Laksmana, 2015) . Konversi lahan mempunyai beberapa peraturan yang tercantum di dalam undang-undang dasar Negara Indonesia salah satunya yaitu; UU RI No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLPPB) dalam rangka mengendalikan alih fungsi lahan pertanian dan untuk menjaga ketahanan pangan dalam rangka swasembada pangan.
Secara nasional, petani tanaman pangan menjadi subyek yang penting dalam ketersediaan pangan. Hal ini karena pemerintah mencanangkan kemandirian pangan melalui swasembada pangan. Namun meningkatnya alih fungsi lahan pertanian produktif akan berdampak pada ketersediaan pangan secara wilayah dan secara nasional[23].
Sebagai salah satu Lumbung Pangan di Jawa Timur mengalami penurunan luas lahan pertanian akibat alih fungsi lahan. Alih fungsi lahan pertanian merupakan suatu ancaman yang serius terhadap keberlanjutan dan swasembada pangan, terutama untuk komoditas pangan utama yaitu padi, jagung dan kedelai. Alih fungsi lahan pertanian dapat menyebabkan ketersediaan lahan pertanian pangan berkelanjutan berkurang(Hidayat & Rofiqoh, 2020).
Berkaitan dengan kondisi tersebut di atas, setiap daerah otonomi diharapkan agar tidak terlalu mudah memberikan peluang untuk terjadinya alih fungsi lahan pertanian pangan. Pemerintah (daerah) berkewajiban mempertahankan lahan pertanian pangan agar tetap fungsinya berkelanjutan. Namun demikian upaya Perlindungan Lahan Pertanian melalui Undang-Undang No. 41 tahun 2009. sampai saat ini belum sepenuhnya efektif dan sinergi dengan tata ruang. Tata ruang selayaknya menetapkan lahan-lahan mana yang harus dipertahankan, dan menetapkan lahan yang dapat beralih fungsi.
Petani kecil yang penguasaan lahan usahataninya sempit atau biasa disebut petani gurem, akan mengalami hambatan dalam upaya mengalihkan sistem pengelolaan yang bersifat subsisten ke pengelolaan usahatani yang berorientasi komersial. Kecilnya volume produksi dari setiap satuan usahatani mendorong terbentuknya struktur pasar hasil pertanian yang oligopsoni. Padahal struktur pasar yang oligopsoni melemahkan posisi tawar menawar (bargaining position) petani di pasar hasil usahatani. Dalam posisi tawar petani yang lemah petani hanya sebagai price taker bukan price maker sebagaimana yang diharapkan.
Selanjutnya, satuan lahan garapan usahatani yang terlalu kecil tidak akan mampu menjamin kehidupan dan kesejahteraan petani dan keluarganya. Lahan usahatani yang tidak layak secara ekonomis tidak memiliki insentif untuk dikelola dengan sungguh-sungguh oleh petani. Pada gilirannya satuan lahan usahatani yang terlalu sempit akan lebih mudah beralih fungsi, sementara pengelolanya beralih profesi ke usaha pertanian lain atau alih profesi keluar sektor pertanian.
Petani akan berusaha mencari perpaduan dalam pemanfaatan sumberdaya yang mereka miliki agar mendatangkan keuntungan finansial dari usahatani yang dijalankannya. Petani dalam menjalankan usahataninya tentu berharap akan mendapatkan penerimaan yang lebih besar dari biaya produksi yang telah dikeluarkan, tetapi kenyataannya tidak selamanya sesuai dengan harapan, bahkan tidak sedikit petani yang mengalami kerugian.
Kerugian yang dialami petani pada umumnya “kerugian yang tidak kentara”. Biasanya petani kurang jeli memperhitungkan biaya-biaya yang mereka keluarkan. Petani hampir tidak pernah menghitung curahan tenaga kerja diri dan keluarganya sebagai komponen biaya uasahatani. Petani juga kadang-kadang tidak memperhitungkan harga jual hasil produksinya yang berlaku di pasaran, karena hasil produksinya dikonsumsi untuk keluarga.
Dalam kondisi penerimaan usahatani tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar keluarga, petani masih memerlukan sumber pendapatan lain selain dari usahatani. Petani terdorong untuk mencari pekerjaan lain sebagai sumber pendapatan tambahannya, dan tidak tertutup kemungkinannya petani beralih profesi.
Sementara lahan usahatani yang dikelolanya kurang mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh, bahkan tidak sedikit akhirnya yang di jual beralih status kepemilikan, yang pada gilirannnya berujung pada terjadinya alih fungsi lahan usahatani ke penggunaan lain. Rendahnya penerimaan (revenue) hasil pertanian dibandingkan dengan biaya produksi (cost of production) sementara hasil di sektor non pertanian (industri), sewa tanah, dan tingginya harga tanah jika di jual tanah membuat banyak petani-petani yang mengalih fungsikan lahannya ke bidang non pertanian.
Tidak sedikit petani yang menjual lahan pertaniannya kepada pemilik modal untuk kegiatan non pertanian. Selain itu karena terdesak kebutuhan keluarga seperti untuk biaya pendidikan, kesehatan sering kali membuat petani tidak mempunysi pilihan lain untuk menjual sebagian atau seluruh lahan usahataninya. Persepsi masyarakat terhadap lahan pertanian, proses fragmentasi lahan pertanian dan persepsi generasi muda terhadap profesi petani, memiliki kontribusi terhadap terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan lain(Djoni et al., 2018).
1.4 Simpulan
- Pasal 10 Perda No. 6 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang mengatur tentang tujuan adanya visi dan misi pengelolaan lahan pertanian untuk pangan yang berkelanjutan telah menimbulkan pergeseran norma yang tidak sesuai dengan UU RI. No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan terutama pada Pasal 44 ayat (1) yang menegaskan bahwa suatu lahan di mana sudah ditetapkan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan dilindungi dan dilarang dialihfungsikan.
- Izin pemanfaatan ruang merupakan izin yang harus dimiliki dimiliki sebelum pelaksanaan pemanfaatan ruang. Izin sebagaimana dimaksud diatas berupa izin lokasi/fungsi ruang dan kualitas ruang. Izin pemanfaatan ruang didahului oleh mekanisme advice planning yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang. Izin pemanfaatan ruang terkait dengan kawasan pengendalian ketat yang berhubungan dengan kewenangan propinsi atas izin gurbernur.
Daftar Bacaan
Agung, I. G., & Eryani, P. (2014). Potensi Air Dan Metode Pengelolaan Sumber Daya Air Jembrana. Paduraksa, 3.
Djoni, D., Suprianto, S., & Cahrial, E. (2018). KAJIAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN DI KOTA TASIKMALAYA. MIMBAR AGRIBISNIS: Jurnal Pemikiran Masyarakat Ilmiah Berwawasan Agribisnis, 1(3), 233. https://doi.org/10.25157/ma.v1i3.43
Hidayat, S. I., & Rofiqoh, L. L. (2020). ANALISIS ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN DI KABUPATEN KEDIRI. Jurnal Social Economic of Agriculture, 9(1), 59. https://doi.org/10.26418/j.sea.v9i1.40646
Marzuki, P. P. M. (2008). Penelitian Hukum. Penelitian Hukum.
Rustiadi, E. (2001). Alih Fungsi Lahan dalam Perspektif Lingkungan Perdesaan. Lokakarya Penyusunann Kebijakan Dan Strategi Pengelolaan Lingkungan Kawasan Perdesaan, 10–11 Mei(November).
Sukananda, S., & Nugraha, D. A. (2020). Urgensi Penerapan Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) sebagai Kontrol Dampak terhadap Lingkungan di Indonesia. Jurnal Penegakan Hukum Dan Keadilan, 1(2). https://doi.org/10.18196/jphk.1207
[1] Nyak Ilham, Yusman Syaukat & Supena Friyatno, “Perkembangan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Sawah serta Dampak Ekonominya” (2004) 5:2 SOCA Socioecon Agric Agribus, online: <https://ojs.unud.ac.id/index.php/soca/article/view/4081/3070> hlm. 2.
[2] Arum Sutrisni Putri., 2019., Pemerintah Daerah dan Otonominya., diakses di https://www.kompas.com/skola/read/2019/12/16/110000069/pengertian-otonomi-daerah-dan-dasar-hu kumnya?page=all.
[3] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah
[4] Andrian Sutedi, 2017, Hukum Perizinan dalam Sektor Pelayanan Publik, Jakarta: Sinar Grafika, hlm.200
[5] Suparto Wijoyo (1999) Penyelesaian Sengketa Lingkungan, Surabaya: Airlangga University Press, hal. 328-329.
[6] Siti Nurmi, Arba, Widodo Dwi Putro., Analisis Hukum Alih Fungsi Tanah Pertanian Menjadi Pembangunan Perumahan dan Pemukiman (Study Di Kabupaten Bima)., Dinamika Sosial Budaya, Vol 22, No. 2, Desember 2020, pp 118-128
[7] Luthfi Ibrahim Nasoetion, 2004, Badan Pertanahan Nasional, Jakarta, hal.1.
[8] Perda No. 6 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), Pasal 10 ayat (1) Visi Penataan Ruang Wilayah Kabupaten Sidoarjo adalah Sidoarjo sebagai wilayah industri, perdagangan, pertanian, serta permukiman yang harmoni dan berkelanjutan. Pasal 10 ayat (2) Visi Penataan Ruang Wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijabarkan ke dalam misi sebagai berikut: a. Mengembangkan sumber daya manusia yang handal dan religius yang memiliki daya saing dalam menghadapi tantangan global b. Mengembangkan perekonomian wilayah yang tangguh dan berkeadilan sesuai dengan daya dukung lingkungan untuk penciptaan lapangan pekerjaan dan peningkatan pendapatan masyarakat c. Meningkatkan penataan ruang wilayah melalui pengembangan sarana dan prasarana untuk menunjang perekonomian dan dinamikan perkembangan wilayah d. Mengembangkan tata pemerintahan yang baik untuk mewujudkan penataan ruang wilayah
[9] Dikatakan bahwa menafsirkan atau menjelaskan undang-undang yang didasarkan pada perlawanan pengertian antara peristiwa konkrit yang dihadapi dan peristiwa yang diatur dalam undang-undang
[10] Pasal 1 angka 16 Perpres RI. No. 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria menjelaskan Pertanian adalah kegiatan mengelola sumber daya alam hayati dengan bantuan teknologi, modal, tenaga kerja, dan manajemen untuk menghasilkan komoditas pertanian yang mencakup tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan/atau peternakan dalam suatu agroekosistem. Pasal 1 angka 17 Perpres RI. No. 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria menjelaskan Non Pertanian adalah kegiatan di luar bidang Pertanian, baik yang berada di wilayah perkotaan atau perdesaan.
[11] Direktorat Jendral Cipta Karya (1997). Kamus Tata Ruang, Edisi 1. Jakarta: Direktorat Jendral Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum, bekerja sama dengan Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia.
[12] Ibid.,….. Direktorat Jendral Cipta Karya (1997)..
[13] Salim, E. (2005). Pembangunan berkelanjutan. Seminar FMIPA Universitas Terbuka Tangerang Selatan.
[14] Kirmanto, D. (2002). Pembangunan permukiman berkelanjutan. Seminar Peduli Banjir ”Forest”. Jakarta.
[15] Uguy, M.J.H. (2001). Pengembangan lingkungan peri-urban dan keberlanjutan kota (Disertasi). Program Doktor PSL Universitas Indonesia, Jakarta.
[16] Davidoff. (1965). Advocacy and pluralism planning. Journal of the American Institute of Planners. Diakses melalui http://urbanpolicy.net/wpcontent/uploads/2012/11/Davidoff _1965_Advocacy-and-pluralism-inplanning.pdf pada 15 September 2018
[17] Miller, G.T. (1975). Living in the environment: Concept, problems, and alternatives. Belmont, Cal: Wadsworth Publishing Company, Inc.
[18] Armstrong, S. & Botzler, R.G. (eds). (1993). Environment ethics divergence and convergence. New York: McGraw-Hill.
[19] Meadows, D.H., Meadows D.I., Randers, J., & Behrens III, W.W. (1972). The limits to growth. Diakses melalui http://www.askforce.org/web/Global-Warming/Meadows-Limits-to-Growth-Short1972.pdf
[20] Costanza & Patten. (1995). Defining and predicting sustainability. Elsevier Journal Ecological Economics, 15, 193-196.
[21] Bey, A. (2005). Integrasi Lingkungan dan Pembangunan, Materi Kuliah Doktoral Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
[22] Irawan, Bambang. 2003. Konversi Lahan Sawah di Jawa dan Dampaknya Terhadap Produksi Padi. Ekonomi Padi dan Beras Indonesia : 295- 325. Badan Litbang Pertanian
[23] Yunastiti, Sutomo, & Nurul Istiqomah, 2015. Analisis Dampak Alih Fungsi Lahan terhadap Tingkat Ketahanan Pangan Rumah Tangga Petani di Karanganyar, Jawa Tengah. Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta.