RSF Setuju Gencatan Senjata, Harapan Baru untuk Sudan

JAKARTA – Harapan tipis untuk perdamaian di Sudan kembali muncul setelah Pasukan Dukungan Cepat (RSF) menyatakan kesediaannya menerima usulan gencatan senjata dan jeda kemanusiaan yang dimediasi oleh kelompok “Quad” yang dipimpin Amerika Serikat. Pengumuman tersebut disampaikan pada Kamis (06/11/2025), setelah lebih dari dua tahun konflik bersenjata antara RSF dan militer Sudan yang telah menelan puluhan ribu korban jiwa.

Kesepakatan itu datang sepekan setelah RSF berhasil menguasai kota El-Fasher, benteng terakhir pasukan pemerintah di wilayah Darfur. Kota yang sebelumnya menampung sekitar 400 ribu warga sipil itu kini porak-poranda akibat pengepungan selama 18 bulan. Dalam pernyataan resminya, RSF menyebut kesepakatan ini sebagai langkah awal untuk mengakhiri penderitaan rakyat Sudan.
“RSF menantikan pelaksanaan kesepakatan ini dan segera memulai pembahasan tentang penghentian aksi permusuhan serta prinsip-prinsip dasar proses politik di Sudan,” demikian pernyataan mereka.

Dari pihak lawan, seorang pejabat militer Sudan mengaku menyambut baik upaya diplomatik Quad, namun menegaskan bahwa pihaknya baru akan menyetujui gencatan senjata jika RSF menarik pasukan dari area sipil dan menyerahkan senjata sesuai perjanjian damai sebelumnya.

Konflik antara kedua kubu telah berlangsung sejak 2023 dan dipicu oleh perselisihan antara dua faksi yang sebelumnya bersekutu untuk mengawal transisi menuju pemerintahan sipil pasca-pemberontakan 2019. Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan lebih dari 40 ribu orang tewas, sementara 12 juta lainnya terpaksa mengungsi. Program Pangan Dunia (WFP) melaporkan sekitar 24 juta warga kini menghadapi kelaparan akut.

Menurut penasihat urusan Afrika pemerintah AS, Massad Boulos, Washington berupaya memfinalisasi gencatan senjata tiga bulan yang akan menjadi dasar menuju proses politik selama sembilan bulan berikutnya. “Kami telah berupaya hampir sepuluh hari terakhir untuk memfinalisasi rincian kesepakatan ini,” ujar Boulos.

Amerika Serikat bersama Arab Saudi, Mesir, dan Uni Emirat Arab membentuk kelompok Quad guna menekan kedua belah pihak menghentikan kekerasan. Meski dituduh mempersenjatai RSF, UEA membantah keras tudingan tersebut. Dalam pernyataannya, Departemen Luar Negeri AS menegaskan urgensi penghentian konflik demi menekan eskalasi dan membuka jalur bantuan kemanusiaan.

Di sisi lain, kondisi lapangan terus memburuk. Laporan dari lembaga pangan global IPC menunjukkan dua wilayah — El-Fasher dan Kadugli — berada di ambang kelaparan ekstrem. Perwakilan FAO, Abdul Hakim Elwaer, menyebut bahwa bencana ini “sepenuhnya buatan manusia” akibat konflik dan terhambatnya distribusi bantuan.

Kisah pilu datang dari para pengungsi El-Fasher. Othman Mohamed, seorang guru, menuturkan kepada kantor berita AP bahwa ia menyaksikan jasad bergelimpangan di jalan selama pelarian. “Makanan hampir tak ada. Kami hidup dari ombaz — sisa hasil perasan minyak kacang tanah — sampai itu pun sulit diperoleh,” ujarnya.

Rawda Mohamed, pengungsi lainnya, menceritakan perjalanan panjang menuju kamp Al-Affad di kota Al-Dabbah. “Di El-Fasher tak ada selain pemukulan dan pembunuhan oleh drone yang tak terlihat tapi mematikan,” katanya lirih.

Badan bantuan internasional, termasuk Dewan Pengungsi Norwegia (NRC) dan Islamic Relief, memperingatkan bahwa jutaan orang kini bergantung pada dapur umum yang semakin terbatas. Jika gencatan senjata benar-benar terwujud, harapan baru bagi rakyat Sudan mungkin akhirnya bisa muncul — meski jalan menuju perdamaian masih panjang dan penuh rintangan. []

Siti Sholehah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *