Rumah Doa Kristen Dirusak Warga di Padang, Dua Anak Terluka

PADANG – Insiden perusakan rumah doa yang juga difungsikan sebagai tempat pendidikan agama bagi siswa Kristen di Kelurahan Padang Sarai, Kecamatan Koto Tangah, Kota Padang, Sumatera Barat, memicu kekhawatiran masyarakat terhadap iklim toleransi antarumat beragama.

Kejadian tersebut berlangsung pada Minggu (27/7/2025) sore dan viral di media sosial usai diunggah akun Instagram @infosumbar. Dalam video yang beredar, tampak sejumlah warga memecahkan kaca jendela menggunakan batu dan kayu.

Perempuan-perempuan yang berada di dalam rumah panik menyelamatkan anak-anak yang menangis histeris.

Pendeta Gereja Kristen Setia Indonesia (GKSI) Padang, F. Dachi, menjelaskan bahwa insiden terjadi saat puluhan jemaat tengah melaksanakan ibadah, dan sejumlah anak sedang mengikuti kegiatan pendidikan agama.

“Saat itu, ketua RW dan RT datang dan memanggil saya ke belakang rumah. Sementara di depan, warga ramai-ramai melakukan perusakan,” ungkap Dachi kepada Kompas.com, Minggu malam.

Akibat kejadian tersebut, dua anak mengalami luka dan mengalami trauma.

Selain itu, listrik rumah doa sempat diputus dan sejumlah peralatan mengalami kerusakan.

Wali Kota Padang, Fadly Amran, langsung mendatangi lokasi kejadian dan memimpin mediasi antara warga dan jemaat GKSI.

Dalam pernyataannya, ia menegaskan bahwa peristiwa ini bukanlah aksi intoleransi berbasis suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

“Sudah kami luruskan bahwa ini adalah kesalahpahaman, bukan karena SARA. Namun untuk tindakan perusakan dan luka yang ditimbulkan, proses hukum tetap berjalan,” ujar Fadly dalam mediasi di Kantor Camat Koto Tangah.

Ketua Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) Kota Padang, Salmadanis, menjelaskan bahwa kegiatan pendidikan agama yang semula berpola dari rumah ke rumah, kemudian dipusatkan di satu rumah.

Hal ini memicu keresahan sebagian warga karena keramaian yang tidak mereka ketahui sebelumnya.

“Surat pemberitahuan sebenarnya sudah ada, namun tidak sampai ke tangan RT dan RW. Warga mengira rumah itu digunakan untuk kegiatan lain,” jelasnya.

Meski peristiwa tersebut disepakati sebagai hasil dari kurangnya komunikasi, tindakan perusakan rumah ibadah dan menyebabkan luka pada anak tetap masuk kategori pidana.

“Kita harus memahami perasaan luka batin saudara-saudara kita. Penegakan hukum tetap dilakukan untuk perusakan dan luka yang terjadi,” kata Fadly.

Ia menambahkan bahwa kejadian ini harus menjadi pelajaran penting untuk memperkuat komunikasi antarwarga serta menjunjung tinggi toleransi dan hukum.

Pemerintah daerah bersama FKUB dan aparat penegak hukum akan terus mengawal proses hukum serta memastikan tidak terjadi peristiwa serupa di kemudian hari.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *