Serikat Buruh Kecam Transfer Data Pribadi ke AS, Ancam Aksi Nasional

JAKARTA — Gelombang kritik mengemuka menyusul kesepakatan dagang antara Indonesia dan Amerika Serikat yang menyentuh aspek sensitif: transfer data pribadi warga negara Indonesia ke pihak asing.
Serikat buruh, melalui Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan Partai Buruh, secara terbuka menyuarakan penolakannya terhadap klausul yang dinilai mengancam hak-hak rakyat atas data pribadi dan kedaulatan digital bangsa.
Kesepakatan tersebut diumumkan melalui pernyataan bersama antara pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat, yang dirilis pada Selasa (22/7/2025).
Dalam dokumen itu, salah satu poin yang menjadi sorotan menyebut bahwa Indonesia akan memberikan akses atas data pribadi warga negaranya kepada otoritas Amerika Serikat.
Langkah itu segera menuai reaksi keras dari kalangan buruh.
Presiden KSPI yang juga merupakan Presiden Partai Buruh, Said Iqbal, mengecam kebijakan tersebut dan menyebutnya sebagai bentuk pelanggaran terhadap prinsip kedaulatan negara serta hak asasi rakyat Indonesia.
“Bagaimana mungkin data pribadi warga negara bisa dipindahkan ke negara lain? Atas dasar apa tim ekonomi Indonesia menyetujui akses data rakyat Indonesia kepada negara asing, tanpa seizin dan sepengetahuan rakyat, khususnya kaum buruh?” ujar Iqbal dalam keterangan pers di Jakarta, Jumat (25/7/2025).
Menurut Iqbal, kebijakan tersebut bukan hanya persoalan teknis perdagangan internasional, melainkan juga menyangkut kehormatan dan integritas nasional.
Ia menegaskan bahwa rakyat, terutama buruh, tidak pernah memberikan mandat kepada pemerintah untuk memperdagangkan informasi pribadi mereka ke negara lain.
“Ini bukan hanya soal perdagangan, tapi soal prinsip dan harga diri bangsa,” tegasnya.
Tak hanya soal data, Iqbal juga menyoroti ketimpangan dalam praktik perdagangan antara Indonesia dan Amerika Serikat.
Ia menyinggung kebijakan tarif era Presiden AS Donald Trump yang dianggap merugikan Indonesia secara sepihak.
“Di masa Trump, tarif barang-barang Indonesia ke AS dinaikkan hingga 19 persen, sementara barang dari Amerika Serikat ke Indonesia bisa masuk tanpa bea atau 0 persen,” kata Iqbal.
Ia menyebut kebijakan tersebut pernah memicu gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai sektor industri padat karya Indonesia.
Jika kesepakatan transfer data ini terus dilanjutkan, menurutnya, akan memperburuk situasi yang sudah rapuh.
“Itu saja sudah menghancurkan kehidupan jutaan buruh. Sekarang, ditambah lagi data pribadi kami dijual ke negara lain. Ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap rakyat,” tegasnya.
KSPI dan Partai Buruh mendesak pemerintah untuk membatalkan perjanjian tersebut secara menyeluruh.
Jika tuntutan ini tidak dipenuhi, Iqbal menyatakan pihaknya siap mengerahkan aksi protes berskala nasional.
“Cabut perjanjian ini, atau kami akan melakukan aksi besar-besaran turun ke jalan,” ancam Iqbal.
Sebagai langkah lanjutan, KSPI juga akan mengajak seluruh elemen gerakan buruh, organisasi masyarakat sipil, dan publik luas untuk bersama-sama menolak perjanjian yang dinilai tidak berpihak pada kepentingan rakyat itu.
Sementara itu, berbagai lembaga pemantau hak digital dan perlindungan data pribadi, termasuk Amnesty Internasional Indonesia, turut menyerukan transparansi dan akuntabilitas dalam setiap bentuk kerja sama internasional yang menyangkut informasi warga.
Di sisi lain, Komisi DPR yang membidangi urusan perlindungan data pribadi telah mengingatkan bahwa transfer data lintas negara harus tunduk pada Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi.
Hingga berita ini disusun, pemerintah Indonesia belum memberikan tanggapan resmi atas desakan pencabutan perjanjian dari kelompok buruh. []
Nur Quratul Nabila A