Sidang Suap Hakim, Saksi Diberi Peringatan Keras soal Kejujuran

JAKARTA — Sidang lanjutan kasus dugaan suap terkait vonis lepas ekspor minyak sawit mentah (CPO) kembali menjadi sorotan publik. Di ruang sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu (17/09/2025), suasana sidang yang dipimpin Hakim Effendi berlangsung tegang ketika ia menekankan pentingnya kejujuran para saksi.

Dalam kesempatan itu, Effendi tidak hanya berbicara soal hukum positif, tetapi juga mengingatkan dimensi moral dan spiritual yang melekat pada kesaksian seseorang di pengadilan.

“Saya berharap persidangan kita hari ini sama dengan di sana (akhirat) nanti hasilnya, karena nanti di sana katanya enggak boleh bohong-bohong,” ujarnya di hadapan saksi-saksi yang dihadirkan.

Peringatan tersebut bukan tanpa alasan. Jaksa penuntut umum (JPU) menghadirkan sejumlah saksi yang memiliki hubungan dekat dengan para terdakwa. Mereka antara lain istri hakim nonaktif Djuyamto, Raden Ajeng Temenggung Dyah Ayu Kusumawijaya, Legal Wilmar Group Muhammad Syafei, serta pengacara Junaedi Saibih.

Baik Syafei maupun Junaedi saat ini telah ditetapkan sebagai tersangka kasus suap hakim. Namun, berkas perkara keduanya belum dilimpahkan ke pengadilan. Selain itu, saksi lain yang dihadirkan adalah Panitera PN Jakarta Selatan, Eddy Sarwono, dan advokat bernama Suratno.

Sebelum para saksi mengucapkan sumpah, Hakim Effendi kembali menegaskan bahwa kesaksian harus diberikan tanpa manipulasi. “Kalau kami (hakim) manusia biasa, para JPU, para penasihat hukum, manusia biasa, pengetahuannya sangat terbatas. Tentu kalau saudara mau berbohong, bisa saja,” ucapnya.
Ia menambahkan, “Nanti sidang di sana ditanya juga. Jadi, jangan lagi jawaban saudara hari ini kepada kita di sidang hari ini (berbeda) dengan nanti yang ditanya malaikat nanti.”

Kasus ini sendiri menyedot perhatian luas karena jumlah suap yang disebutkan jaksa mencapai Rp40 miliar. Berdasarkan dakwaan, eks Wakil Ketua PN Jakarta Pusat Muhammad Arif Nuryanta menerima Rp15,7 miliar, Panitera Muda nonaktif PN Jakarta Utara Wahyu Gunawan Rp2,4 miliar, serta Ketua Majelis Hakim Djuyamto Rp9,5 miliar. Dua hakim anggota lain, Ali Muhtarom dan Agam Syarif Baharudin, masing-masing menerima Rp6,2 miliar.

Aliran dana tersebut berujung pada vonis lepas untuk tiga korporasi raksasa, yakni Permata Hijau Group, Wilmar Group, dan Musim Mas Group. Nama Arif Nuryanta dan Wahyu Gunawan juga muncul dalam dakwaan karena diduga ikut dalam negosiasi dengan pengacara untuk mengatur putusan majelis hakim.

Sidang masih akan berlanjut dengan menghadirkan saksi-saksi berikutnya. Namun, pernyataan Hakim Effendi memperlihatkan bahwa perkara ini bukan sekadar ujian terhadap hukum acara, melainkan juga ujian moral bagi semua pihak yang terlibat. Kejujuran, menurutnya, adalah kunci untuk menjaga integritas peradilan di tengah sorotan publik yang semakin kritis. []

Diyan Febriana Citra.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *