Siswa Kelas 2 SD di Riau Meninggal, Perundungan Diduga Bermotif SARA

PEKANBARU – Dunia pendidikan Indonesia kembali tercoreng oleh kasus kekerasan di lingkungan sekolah dasar.
Seorang siswa kelas 2 SD di Riau berinisial KB (8) meninggal dunia setelah diduga menjadi korban perundungan yang dilakukan oleh lima siswa kakak kelasnya.
Kejadian ini bukan hanya mengundang duka, tetapi juga memicu kecaman luas karena diduga bermuatan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), Anwar Abbas, menyampaikan keprihatinan mendalam atas insiden yang disebutnya sebagai tragedi kemanusiaan dalam dunia pendidikan.
“Kita sangat prihatin dengan tindakan anak-anak didik kita yang masih duduk di bangku sekolah dasar, namun sudah melakukan kekerasan hingga mengakibatkan korban meninggal dunia,” ujar Anwar Abbas, Jumat (30/5/2025).
Anwar menyerukan keterlibatan semua pihak—pemerintah, sekolah, keluarga korban dan pelaku, serta masyarakat—untuk menyelesaikan persoalan ini secara menyeluruh dan bijak.
“Kita harapkan semua pihak bisa menyikapi kasus ini dengan baik. Ini bukan hanya masalah sekolah, tapi juga masalah moral dan sosial yang lebih luas,” ujarnya.
Lebih jauh, Anwar meminta agar sekolah-sekolah meningkatkan langkah preventif terhadap perundungan.
Ia menekankan pentingnya pendidikan karakter dan pengawasan aktif dari guru, agar kejadian serupa tidak terulang.
“Peristiwa ini menjadi alarm keras bagi dunia pendidikan. Sekolah tidak cukup hanya mengajar, tapi juga harus melindungi dan membentuk karakter peserta didik,” katanya.
Sebelumnya, korban KB mengalami luka lebam di tubuhnya dan sempat dilarikan ke rumah sakit sebelum dinyatakan meninggal dunia.
Hasil autopsi menunjukkan adanya indikasi kekerasan fisik yang dialaminya.
Ayah korban, Gimson Beni Butarbutar, menyatakan bahwa anaknya sudah beberapa kali mengalami perundungan sebelum kejadian.
Ia menduga kekerasan tersebut dipicu oleh perbedaan suku dan agama yang dianut keluarganya.
“Anak saya sudah sering di-bully. Mereka mengejek karena beda suku dan agama. Itu sudah terjadi seminggu sebelum anak saya sakit,” ujar Gimson, dengan suara berat menahan kesedihan.
Pihak kepolisian saat ini masih melakukan pendalaman terhadap kasus ini, termasuk memeriksa pihak sekolah dan para siswa yang terlibat.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) juga menyatakan akan turun langsung untuk mengawal penanganan kasus ini agar berjalan transparan dan adil.
Tragedi ini menyisakan pertanyaan besar: sampai sejauh mana sekolah menjadi ruang aman bagi anak-anak? Dan bagaimana bangsa ini mendidik generasi muda agar menjunjung tinggi toleransi dan kemanusiaan? []
Nur Quratul Nabila A