Siswa SMA di Garut Meninggal Diduga Karena Perundungan, Sekolah dan Teman Ungkap Hal Berbeda

GARUT — Duka mendalam menyelimuti sebuah keluarga di Kabupaten Garut, Jawa Barat, setelah seorang siswa kelas 10 SMA berinisial P (16) ditemukan meninggal dunia di dalam kamar rumahnya pada Senin (14/7/2025).
Peristiwa tragis ini memunculkan dugaan bahwa P menjadi korban perundungan atau bullying di lingkungan sekolah.
Isu tersebut mencuat ke publik setelah ibu korban mengunggah curahan hatinya melalui media sosial. Ia mengeklaim bahwa anaknya mengalami perundungan dari teman-teman sekelasnya, yang diduga turut memicu tindakan nekat sang anak.
Menanggapi kabar ini, pihak sekolah tempat P menimba ilmu angkat bicara. Guru Bimbingan Konseling (BK) sekolah, Ranggi Puji Widiarestadi, menyatakan bahwa P telah menjadi perhatian khusus sejak awal tahun ajaran karena dinilai memiliki kerentanan baik secara akademik maupun psikologis.
“Selama satu tahun kami menangani, ada beberapa catatan yang menjadi perhatian,” kata Ranggi kepada TribunJabar.id.
“Dari segi kehadiran, tidak ada masalah. Dia tergolong rajin masuk sekolah. Namun gejala kerentanannya muncul dari respons terhadap tugas-tugas sekolah.”
Menurut penilaian sekolah, P sering tidak mengerjakan tugas karena merasa tidak mampu. Bahkan ketika ditanya alasannya, ia kerap memilih diam. Secara psikologis, P juga dinilai sebagai pribadi tertutup yang sulit membuka diri.
“Ketika menghadapi tantangan, dia cenderung cepat menyerah. Misalnya, saat diberi tugas yang dianggap sulit, reaksinya seperti, ‘ah udah weh’, seolah langsung menyerah begitu saja,” ujar Ranggi.
Untuk meringankan beban mental dan akademiknya, sejumlah guru telah diminta memberikan perlakuan khusus, termasuk mengurangi beban tugas. Namun, kondisi P disebut terus menurun, bahkan ia tidak naik kelas pada akhir semester dua. Informasi tersebut sudah disampaikan kepada pihak keluarga.
“Ibunya sudah tahu soal kondisi ini. Kami memiliki bukti komunikasi lewat pesan singkat. Meski hanya dua kali kami undang secara langsung ke sekolah, komunikasi melalui wali kelas dan guru mapel cukup intens dilakukan,” jelas Ranggi.
Pernyataan pihak sekolah ini berbeda dengan narasi yang disampaikan ibu korban, yang menyebut bahwa perundungan berasal dari seluruh teman sekelas. Ranggi mengatakan pihak sekolah baru mengetahui dugaan bullying itu sehari sebelum pembagian rapor.
“Kami cukup terkejut, karena selama satu tahun kami menangani P tidak ada satu pun indikator atau laporan soal itu,” ujarnya.
Di sisi lain, kesaksian teman sekelas korban, Altasya (16), juga tidak mendukung tudingan adanya perundungan sistemik. Ia menyebutkan bahwa sempat ada insiden saat P dituduh menggunakan vape, tetapi permasalahan itu telah diselesaikan secara damai.
“Awal mulanya kan soal ngelaporin nge-vape, temen sekelas sempat menuduh P dan mau ngeroyok dia, tapi itu tidak jadi ngeroyok karena dipisahkan sama teman-teman lain,” katanya.
“Itu kejadiannya awal semester satu, dan sudah baikan lagi sudah maaf-maafan.”
Altasya menambahkan, meski awalnya pendiam, P menunjukkan perubahan perilaku menjadi lebih terbuka di akhir semester dua.
“Orangnya mah awalnya pendiam, di akhir semester dua alhamdulilah ada perubahan jadi lebih baik jadi suka nyapa dan suka nanyain tugas,” tuturnya.
Kasus ini masih menyisakan tanda tanya dan menjadi sorotan masyarakat, khususnya tentang pentingnya deteksi dini kerentanan mental siswa serta komunikasi terbuka antara sekolah, siswa, dan keluarga. []
Nur Quratul Nabila A