Soeharto dan Kontroversi Gelar Pahlawan Nasional

JAKARTA – Rencana pemerintah mengusulkan Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto, sebagai Pahlawan Nasional kembali memunculkan perdebatan publik. Usulan tersebut dinilai sebagian kalangan sebagai langkah yang justru mengaburkan semangat reformasi dan melukai ingatan para korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di masa Orde Baru.

Menteri Sosial Saifullah Yusuf beberapa waktu lalu menyerahkan berkas berisi 40 nama calon penerima gelar Pahlawan Nasional kepada Menteri Kebudayaan sekaligus Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK) Fadli Zon di Jakarta. Dalam daftar itu tercantum nama-nama tokoh penting seperti Soeharto, Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur), serta aktivis buruh Marsinah.

Keputusan tersebut menimbulkan gelombang penolakan dari sejumlah pihak yang menilai bahwa Soeharto tidak layak memperoleh gelar kehormatan tertinggi negara. Salah satunya datang dari Ketua Umum DPN Relawan Perjuangan Demokrasi (Repdem) Wanto Sugito. Ia menilai langkah itu bertentangan dengan nilai-nilai Sumpah Pemuda yang baru saja diperingati.

“Sumpah Pemuda lahir dari keberanian melawan ketakutan dan ketidakadilan. Jika simbol penindasan diangkat sebagai pahlawan, itu sama saja dengan mengkhianati makna sumpah itu sendiri,” ujar Wanto, Selasa (28/10/2025).

Wanto menambahkan, bangsa Indonesia seharusnya belajar menghargai mereka yang berani menentang ketidakadilan, bukan menyanjung sosok yang dinilai mewariskan luka sejarah. Ia menilai, upaya mengusulkan Soeharto sebagai pahlawan merupakan bentuk “pelupaan sistematis” terhadap penderitaan korban pelanggaran HAM di masa Orde Baru.

“Bangsa ini seharusnya menundukkan kepala kepada mereka yang berani melawan ketidakadilan, bukan kepada mereka yang menindas. Kalau bicara pahlawan, lebih pantas menyebut Marsinah, Wiji Thukul, dan ribuan korban kekerasan Orde Baru yang tak pernah mendapat keadilan,” katanya.

Nada serupa disampaikan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS). Lembaga tersebut menegaskan penolakan atas pencantuman nama Soeharto dalam daftar usulan pahlawan nasional.

“Sosok Soeharto tidak layak menjadi Pahlawan Nasional lantaran rekam jejaknya dalam kejahatan HAM, praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta gaya kepemimpinan otoriter selama 32 tahun menjabat,” ujar Kepala Divisi Impunitas KontraS, Jane Rosalina Rumpia, Senin (27/10/2025).

Jane menekankan bahwa gelar Pahlawan Nasional seharusnya diberikan kepada tokoh yang menegakkan nilai kemanusiaan, moralitas publik, dan keadilan sosial. Ia mengingatkan, berbagai peristiwa kelam pada masa Orde Baru masih menyisakan trauma mendalam bagi korban dan keluarga mereka.

KontraS juga mencatat sejumlah kasus pelanggaran HAM berat selama kepemimpinan Soeharto, di antaranya tragedi 1965-1966, Penembakan Misterius (1982–1985), Tragedi Tanjung Priok (1984), Talangsari (1989), serta penghilangan orang secara paksa menjelang kejatuhan rezim pada 1997–1998.

Bagi sebagian masyarakat, mengangkat Soeharto sebagai pahlawan bukan hanya soal gelar, tetapi juga tentang bagaimana negara memilih untuk mengingat sejarahnya — apakah dengan menegakkan kebenaran, atau mengaburkannya atas nama rekonsiliasi. []

Siti Sholehah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *