Tak Puas dengan Vonis 2,5 Tahun untuk Achsanul Qosasi, Kejagung Harli Ajukan Banding

JAKARTA – Kasus dugaan tindak pidana korupsi terkait proyek penyediaan infrastruktur base transceiver station (BTS) 4G yang menyeret anggota III nonaktif Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Achsanul Qosasi memasuki babak baru. Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta tengah memproses banding perkara yang menjerat Achsanul Qosasi dan akan memutus banding tersebut pada 20 Agustus 2024 mendatang.

“Sidang (putusan banding) terdakwa Achsanul Qosasi tanggal 20 Agustus 2024,” kata pejabat Humas PT DKI Jakarta Sugeng Riyono kepada Kompas.com, Kamis (18/7/2024).

Sugeng mengatakan, Ketua PT DKI Jakarta telah menunjuk majelis hakim yang bakal mengadili perkara Achsanul Qosasi. Mereka adalah hakim Sumpeno sebagai ketua majelis bersama hakim Nelson Pasaribu dan hakim Anthon R Saragih sebagai anggota majelis.

Dalam perkara ini, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat menjatuhkan hukuman dua tahun dan enam bulan penjara kepada Achsanul Qosasi. Anggota nonaktif BPK itu dinilai terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum telah menerima uang sebesar 2,6 juta dollar Amerika Serikat atau setara Rp 40 miliar terkait proyek penyediaan infrastruktur BTS 4G.

“Menjatuhkan pidana kepada terdakwa Achsanul Qosasih dengan pidana penjara selama dua tahun dan enam bulan,” kata Ketua Majelis Hakim Fahzal Hendri dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis 20 Juni 2024.

Hukuman ini lebih rendah daripada tuntutan jaksa yang menuntut Achsanul untuk dijatuhi hukuman selama lima tahun penjara dan denda Rp 500 juta. Selain pidana badan, Achsanul hanya dijatuhi pidana denda sebesar Rp 250 juta dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar akan diganti dengan pidana kurungan selama empat bulan.

Ditemui usai pembacaan putusan, kuasa hukum Achsanul Qosasi, Soesilo Aribowo menilai, vonis 2,5 tahun yang dijatuhkan majelis hakim masih berat. Soesilo berpandangan, seharusnya kliennya hanya divonis satu tahun jika dianggap terbukti melakukan korupsi terkait proyek BTS 4G

“(Vonis) 2,5 (tahun), kalau itu Pasal 11 tentunya, minimal kan satu tahun. Kalau 2,5 tahun masih agak berat sebenarnya,” kata Soesilo.

Saat itu, Soesilo menyatakan bakal mempelajari putusan majelis hakim untuk menentukan langkah hukum.

Kami masih pikir-pikir, apakah ini (langkah hukum selanjutnya) dijalankan atau tidak,” ucap dia.

Sementara itu, Kejaksaan Agung (Kejagung) mengajukan banding atas vonis yang dijatuhkan majelis hakim Pengadilan Tipikor kepada Achsanul Qosasi. Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Harli Siregar menilai, banding diajukan lantaran hukuman 2,5 tahun penjara yang dijatuhkan kepada Achsanul Qosasi belum memenuhi rasa keadilan masyarakat. Harli mengatakan, akta permintaan banding telah diajukan oleh tim jaksa penuntut umum pada Selasa 25 Juli 2024.

“Bahwa putusan tersebut belum memenuhi keadilan hukum bagi masyarakat,” kata Harli dalam keterangannya, 27 Juni 2024. []

Nur Quratul Nabila A

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Berita Lainnya

WELLINGTON — Kasus medis tak biasa terjadi di Selandia Baru setelah seorang remaja laki-laki berusia 13 tahun menelan hingga 100 magnet kecil berkekuatan tinggi yang dibelinya melalui platform belanja daring Temu. Aksi berbahaya tersebut berujung pada operasi besar setelah magnet-magnet itu menyebabkan kerusakan serius pada organ dalam tubuhnya. Remaja itu semula dibawa ke Rumah Sakit Tauranga, Pulau Utara, karena mengalami nyeri perut selama empat hari. Setelah dilakukan pemeriksaan medis, dokter menemukan adanya kumpulan magnet di dalam usus. “Dia mengungkapkan telah menelan sekitar 80–100 magnet berkekuatan tinggi (neodymium) berukuran 5×2 milimeter sekitar satu minggu sebelumnya,” tulis laporan di New Zealand Medical Journal, Jumat (24/10/2025). Magnet neodymium tersebut sejatinya sudah dilarang beredar di Selandia Baru sejak 2013 karena risiko keselamatan yang tinggi, terutama bagi anak-anak. Namun, laporan mengungkapkan bahwa remaja ini masih bisa membelinya secara daring melalui Temu, salah satu platform e-commerce asal Tiongkok yang tengah populer secara global. Hasil sinar-X memperlihatkan magnet-magnet itu menggumpal membentuk empat garis lurus di dalam perut sang remaja. “Ini tampaknya berada di bagian usus yang terpisah namun saling menempel akibat gaya magnet,” ujar pihak medis. Kondisi itu menyebabkan nekrosis, atau kematian jaringan, di empat area usus halus dan sekum, bagian dari usus besar. Tim dokter bedah kemudian melakukan operasi pengangkatan jaringan mati sekaligus mengeluarkan seluruh magnet dari tubuh pasien. Setelah menjalani perawatan intensif selama delapan hari, remaja tersebut akhirnya diperbolehkan pulang. Dalam laporan medisnya, dokter Binura Lekamalage, Lucinda Duncan-Were, dan Nicola Davis menulis bahwa kasus ini menjadi pengingat bahaya besar yang bisa timbul dari akses bebas anak-anak terhadap produk berisiko di pasar online. “Kasus ini tidak hanya menyoroti bahaya konsumsi magnet, tetapi juga bahaya pasar daring bagi populasi anak-anak kita,” tulis mereka. Selain itu, para ahli juga memperingatkan kemungkinan komplikasi jangka panjang akibat insiden ini, termasuk sumbatan usus, hernia perut, serta nyeri kronis yang dapat muncul di kemudian hari. Menanggapi laporan tersebut, pihak Temu menyampaikan penyesalan dan berjanji akan menyelidiki kasus ini secara menyeluruh. “Kami telah meluncurkan tinjauan internal dan menghubungi penulis artikel New Zealand Medical Journal untuk mendapatkan informasi lebih lanjut,” ujar juru bicara Temu dalam pernyataan resminya. Namun, Temu menyebut belum dapat memastikan apakah magnet yang digunakan anak tersebut benar-benar dibeli melalui platform mereka. “Meskipun demikian, tim kami sedang meninjau daftar produk yang relevan untuk memastikan kepatuhan penuh terhadap peraturan keselamatan setempat,” tambahnya. Temu, yang merupakan raksasa e-commerce asal Tiongkok, beberapa kali dikritik di pasar internasional, termasuk di Uni Eropa, karena dinilai belum cukup tegas dalam menyaring produk berbahaya atau ilegal yang beredar di platformnya. Kasus ini menegaskan pentingnya pengawasan orang tua terhadap aktivitas belanja dan penggunaan internet oleh anak-anak, sekaligus menjadi peringatan bahwa satu klik di dunia digital bisa berujung pada konsekuensi serius di dunia nyata.