Tekanan China Meningkat, Taiwan Perkuat Militer

TAIPEI – Taiwan mengambil langkah strategis dengan mengusulkan penambahan anggaran pertahanan nasional sebesar NT$ 1,25 triliun atau sekitar Rp 664 triliun. Kebijakan ini dipandang sebagai respons tegas terhadap meningkatnya tekanan militer dan diplomatik dari China, serta upaya memperkuat pertahanan jangka panjang di tengah dinamika geopolitik kawasan Asia-Pasifik.

Presiden Taiwan Lai Ching-te mengumumkan rencana tersebut dalam konferensi pers di kantor kepresidenan, Rabu (26/11/2025) waktu setempat. Ia menegaskan bahwa penguatan anggaran pertahanan merupakan komitmen untuk menjaga kedaulatan negara, terutama ketika Taiwan terus menghadapi klaim sepihak dari Beijing.

China, yang menganggap Taiwan sebagai bagian dari wilayah kedaulatannya, terus memperluas tekanan melalui operasi militer dan intimidasi politik selama beberapa tahun terakhir. Namun, pemerintahan Taipei secara konsisten menolak klaim tersebut dan menegaskan statusnya sebagai entitas demokratis yang berdaulat.

Dalam kesempatan itu, Lai menekankan pentingnya keteguhan sikap dalam menjaga keamanan nasional. “Tidak ada ruang untuk kompromi terkait keamanan nasional,” tegasnya. Ia mengingatkan bahwa sejarah telah menunjukkan risiko besar dari sikap menyerah terhadap agresi asing. “Upaya berkompromi dalam menghadapi agresi tidak akan menghasilkan apa-apa selain ‘perbudakan’,” ujarnya.

Presiden Lai juga menegaskan bahwa nilai-nilai fundamental Taiwan terletak pada sistem demokrasi dan kebebasan yang dijunjung tinggi. “Kedaulatan nasional dan nilai-nilai inti kebebasan serta demokrasi merupakan fondasi bangsa kita,” tuturnya.

Jauh sebelum pengumuman resmi, Lai telah memaparkan rencana belanja besar pertahanan itu melalui tulisan opini di surat kabar Washington Post pada Selasa (25/11/2025) waktu setempat. Dalam tulisannya, ia menyebut bahwa Taiwan tengah menghadapi pertarungan untuk mempertahankan eksistensi sebagai negara demokratis. “Ini merupakan perjuangan antara mempertahankan Taiwan yang demokratis dan menolak untuk tunduk menjadi ‘Taiwan-nya China’,” tulisnya, sambil menegaskan bahwa isu ini melampaui persoalan “penyatuan versus kemerdekaan”.

Anggaran tambahan tersebut, menurut Lai, akan digunakan untuk “akuisisi senjata-senjata baru yang signifikan dari AS, tetapi juga akan sangat meningkatkan kemampuan asimetris Taiwan”. Salah satu fokus utama adalah percepatan pengembangan sistem pertahanan udara berlapis bernama “T-Dome”, yang diklaim akan memajukan pertahanan berbasis teknologi. Sistem ini, kata Lai, “akan membawa kita lebih dekat ke visi Taiwan yang tak tergoyahkan, yang dilindungi oleh inovasi dan teknologi”.

Usulan anggaran ini juga sejalan dengan dorongan Amerika Serikat agar Taiwan meningkatkan alokasi pertahanannya menjadi 5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2030. Selain itu, pengumuman tersebut muncul di tengah ketegangan antara Jepang dan China, setelah Perdana Menteri Sanae Takaichi mengisyaratkan potensi intervensi militer Tokyo jika keamanan Taiwan mengancam kelangsungan hidup Jepang.

Washington sebelumnya telah menyetujui penjualan suku cadang dan komponen militer senilai US$ 300 juta kepada Taiwan, menjadi penjualan pertama sejak Donald Trump kembali ke Gedung Putih. Kebijakan pertahanan Taiwan kini dipandang tidak hanya sebagai upaya mempertahankan diri, melainkan juga sebagai bagian dari stabilitas regional di Asia-Pasifik. []

Siti Sholehah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *