Teknologi Hebat, Perencanaan Lambat

SAMARINDA — Pemerintah Kota Samarinda kembali mengusung proyek insinerator sebagai solusi modern pengelolaan sampah, namun langkah tersebut tak lepas dari sorotan dan kritik anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Samarinda. Melalui rapat dengar pendapat (hearing) yang digelar Komisi III DPRD pada Rabu, (08/10/2025), sejumlah persoalan mendasar justru muncul ke permukaan: kesiapan teknis yang belum matang, regulasi yang belum tuntas, hingga risiko lingkungan yang belum diulas secara terbuka.
Ketua Komisi III DPRD Samarinda, Deni Hakim Anwar, mengatakan rapat ini merupakan tindak lanjut atas pembangunan fasilitas pengolah sampah yang kini diklaim telah berjalan di beberapa titik. “Hari ini kami mengadakan rapat dengar pendapat atau hearing terkait pembangunan insinerator di Kota Samarinda,” ujarnya usai kegiatan di Kantor DPRD.
Namun, di balik optimisme yang disampaikan, muncul pertanyaan besar tentang kesiapan proyek tersebut. Deni menegaskan, pembahasan kali ini fokus pada regulasi dan kesiapan teknis agar pelaksanaan tak menimbulkan masalah ke depan. “Kami ingin memastikan bahwa pembangunan insinerator ini benar-benar optimal dan lengkap dari seluruh aspek, baik teknis maupun regulasinya. Landasan hukumnya harus jelas agar pelaksanaan di lapangan tidak menimbulkan masalah ke depan,” jelasnya.
Pernyataan itu seolah mengakui bahwa proyek yang disebut sudah mencapai 80 persen pembangunan masih belum memiliki kejelasan regulasi. DPRD bahkan memberikan sejumlah catatan teknis, salah satunya soal pemilahan sampah sebelum masuk ke mesin pembakar. “Kami mengusulkan agar sampah yang akan dimasukkan ke dalam mesin insinerator harus melalui proses pemilahan terlebih dahulu. Artinya, hanya sampah kering dan non-organik yang diolah, supaya kinerja mesin lebih efisien dan hasilnya maksimal,” kata Deni.
Sayangnya, proyek ambisius ini tidak merata. Dari sepuluh unit yang direncanakan, tidak semua kecamatan akan mendapat fasilitas. Wilayah padat seperti Samarinda Kota, Samarinda Ilir, dan Sungai Pinang justru tidak kebagian karena berdekatan dengan Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Ironisnya, kawasan tersebut kerap menjadi pusat penumpukan sampah harian warga.
Meski mengklaim pembangunan fisik hampir rampung, Deni belum menjelaskan secara detail bagaimana pengawasan emisi, perizinan lingkungan, serta mekanisme pengelolaan limbah hasil pembakaran akan dilakukan. “Jika mesin dan rekomendasi dari Kementerian Lingkungan Hidup sudah diterima, insyaallah dalam waktu dekat bisa segera dioperasikan,” ujarnya.
Deni menyebut, satu unit insinerator mampu mengolah sepuluh ton sampah per delapan jam. Jika sepuluh unit beroperasi penuh, maka sekitar seratus ton sampah bisa terpangkas dari total 600 ton sampah yang dihasilkan Samarinda setiap hari. Namun, perhitungan di atas kertas belum tentu mencerminkan realitas lapangan, terlebih jika sistem pemilahan sampah masih lemah dan kesadaran warga belum terbentuk.
Politik pencitraan dan proyek berbiaya besar kerap menutupi substansi utama: apakah insinerator ini benar-benar solusi atau sekadar simbol kemajuan? Di tengah isu perubahan iklim, sistem pembakaran justru berpotensi menciptakan polusi udara baru jika tidak diawasi ketat.
“Keberhasilan pengelolaan sampah tidak hanya bergantung pada teknologi, tetapi juga pada kesadaran masyarakat,” tegas Deni. Kalimat itu seolah menjadi pengingat bahwa masalah utama bukan sekadar di mesin, tapi di pola pikir baik pejabat maupun warga.
Samarinda memang butuh solusi nyata untuk sampah, tetapi proyek insinerator ini harus diuji bukan hanya dari segi teknis, melainkan juga dari keberlanjutan lingkungan dan tanggung jawab sosialnya. Tanpa transparansi dan pengawasan publik, insinerator bisa berubah dari solusi jadi sumber masalah baru.
Penulis: Rifky Irlika Akbar | Penyunting: Aulia Setyaningrum