Trump Minta Hamas Lepaskan 20 Sandera, Konflik Gaza Masih Memanas

WASHINGTON – Mantan Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali angkat suara soal konflik Gaza. Melalui akun media sosialnya, Truth Social, Trump mendesak kelompok Hamas segera membebaskan 20 sandera yang masih ditahan di Jalur Gaza.

“Beri tahu Hamas untuk SEGERA mengembalikan semua 20 sandera (bukan 2, 5, atau 7!), dan keadaan akan berubah dengan cepat. INI AKAN BERAKHIR!” tulis Trump, Kamis (4/9/2025).

Meski demikian, Trump tidak merinci apa yang dimaksud dengan “akhir” ataupun langkah konkret yang akan ditempuh jika Hamas menuruti desakannya.

Menurut otoritas Israel, sebanyak 250 orang disandera Hamas setelah serangan pada 7 Oktober 2023.

Dari jumlah itu, sekitar 50 orang diyakini masih ditahan di Gaza, termasuk 20 orang yang disebut masih hidup.

Pemerintah Israel menilai pembebasan sandera menjadi kunci utama dalam setiap perundingan. Namun, hingga kini belum ada titik temu terkait syarat-syarat pertukaran tawanan.

Di sisi lain, organisasi hak asasi manusia menuding Israel menahan lebih dari 10.800 warga Palestina dalam kondisi buruk.

Laporan tersebut menyebut praktik penyiksaan, kekurangan pangan, serta pengabaian perawatan medis di dalam penjara Israel.

Kritik ini menambah sorotan internasional terhadap Tel Aviv, yang dinilai menggunakan standar ganda dalam menuntut pembebasan sandera, sementara di saat bersamaan memperluas operasi militer dan menahan ribuan warga sipil Palestina.

Kementerian Kesehatan Gaza mencatat, sejak Oktober 2023, hampir 64.000 warga Palestina meninggal akibat serangan militer Israel.

Angka ini termasuk ribuan perempuan dan anak-anak, serta puluhan tenaga medis yang tewas saat bertugas.

“Kondisi di Gaza sudah seperti neraka kemanusiaan, dengan kelaparan dan runtuhnya layanan kesehatan,” ujar Direktur Eksekutif Human Rights Watch, Tirana Hassan, dalam laporan yang dikutip Anadolu Agency.

Menurutnya, blokade yang berkepanjangan dan intensitas serangan membuat masyarakat Gaza hidup dalam krisis ganda: perang dan kelaparan.

Israel juga berhadapan dengan sejumlah gugatan hukum di pengadilan internasional. Mahkamah Pidana Internasional (ICC) pada November 2024 mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant, atas dugaan kejahatan perang.

Selain itu, Israel tengah menghadapi tuntutan genosida di Mahkamah Internasional (ICJ) yang diajukan sejumlah negara. Tekanan hukum tersebut membuat posisi Israel kian sulit di mata global.

Upaya diplomatik internasional untuk mendorong gencatan senjata belum membuahkan hasil.

Perundingan terakhir yang difasilitasi Mesir dan Qatar kandas setelah Israel menarik diri dari kesepakatan pada Maret 2025.

Hingga kini, pertempuran di Gaza terus berlangsung, sementara ratusan ribu warga sipil masih terjebak tanpa akses aman untuk evakuasi.

Pernyataan Trump datang di tengah persaingan politik domestik di Amerika Serikat, menjelang pemilu presiden 2026.

Sikapnya terhadap konflik Gaza dinilai sebagai bagian dari strategi politik untuk menarik simpati pemilih yang menilai pemerintahan saat ini gagal menghentikan perang.

Meski demikian, sejumlah analis menilai pernyataan Trump lebih bersifat retorika dibanding rencana kebijakan nyata.

Sebab, hingga kini ia tidak pernah memaparkan langkah detail soal bagaimana menghentikan konflik Gaza jika kembali berkuasa.

Konflik berkepanjangan di Gaza tidak hanya memicu ketegangan politik global, tetapi juga menghadirkan tragedi kemanusiaan terbesar dalam beberapa dekade terakhir.

Seruan gencatan senjata datang dari berbagai negara dan lembaga internasional, namun upaya itu terus berhadapan dengan kebuntuan politik dan kepentingan militer.

Sementara itu, nasib ribuan tawanan Palestina dan puluhan sandera Israel masih menggantung di tengah jalan buntu negosiasi.

Pernyataan keras Trump menjadi bagian dari suara internasional yang terus mendesak solusi, meski belum jelas apakah tekanan tersebut akan berdampak pada perubahan nyata di lapangan. []

Nur Quratul Nabila A

WELLINGTON — Kasus medis tak biasa terjadi di Selandia Baru setelah seorang remaja laki-laki berusia 13 tahun menelan hingga 100 magnet kecil berkekuatan tinggi yang dibelinya melalui platform belanja daring Temu. Aksi berbahaya tersebut berujung pada operasi besar setelah magnet-magnet itu menyebabkan kerusakan serius pada organ dalam tubuhnya. Remaja itu semula dibawa ke Rumah Sakit Tauranga, Pulau Utara, karena mengalami nyeri perut selama empat hari. Setelah dilakukan pemeriksaan medis, dokter menemukan adanya kumpulan magnet di dalam usus. “Dia mengungkapkan telah menelan sekitar 80–100 magnet berkekuatan tinggi (neodymium) berukuran 5×2 milimeter sekitar satu minggu sebelumnya,” tulis laporan di New Zealand Medical Journal, Jumat (24/10/2025). Magnet neodymium tersebut sejatinya sudah dilarang beredar di Selandia Baru sejak 2013 karena risiko keselamatan yang tinggi, terutama bagi anak-anak. Namun, laporan mengungkapkan bahwa remaja ini masih bisa membelinya secara daring melalui Temu, salah satu platform e-commerce asal Tiongkok yang tengah populer secara global. Hasil sinar-X memperlihatkan magnet-magnet itu menggumpal membentuk empat garis lurus di dalam perut sang remaja. “Ini tampaknya berada di bagian usus yang terpisah namun saling menempel akibat gaya magnet,” ujar pihak medis. Kondisi itu menyebabkan nekrosis, atau kematian jaringan, di empat area usus halus dan sekum, bagian dari usus besar. Tim dokter bedah kemudian melakukan operasi pengangkatan jaringan mati sekaligus mengeluarkan seluruh magnet dari tubuh pasien. Setelah menjalani perawatan intensif selama delapan hari, remaja tersebut akhirnya diperbolehkan pulang. Dalam laporan medisnya, dokter Binura Lekamalage, Lucinda Duncan-Were, dan Nicola Davis menulis bahwa kasus ini menjadi pengingat bahaya besar yang bisa timbul dari akses bebas anak-anak terhadap produk berisiko di pasar online. “Kasus ini tidak hanya menyoroti bahaya konsumsi magnet, tetapi juga bahaya pasar daring bagi populasi anak-anak kita,” tulis mereka. Selain itu, para ahli juga memperingatkan kemungkinan komplikasi jangka panjang akibat insiden ini, termasuk sumbatan usus, hernia perut, serta nyeri kronis yang dapat muncul di kemudian hari. Menanggapi laporan tersebut, pihak Temu menyampaikan penyesalan dan berjanji akan menyelidiki kasus ini secara menyeluruh. “Kami telah meluncurkan tinjauan internal dan menghubungi penulis artikel New Zealand Medical Journal untuk mendapatkan informasi lebih lanjut,” ujar juru bicara Temu dalam pernyataan resminya. Namun, Temu menyebut belum dapat memastikan apakah magnet yang digunakan anak tersebut benar-benar dibeli melalui platform mereka. “Meskipun demikian, tim kami sedang meninjau daftar produk yang relevan untuk memastikan kepatuhan penuh terhadap peraturan keselamatan setempat,” tambahnya. Temu, yang merupakan raksasa e-commerce asal Tiongkok, beberapa kali dikritik di pasar internasional, termasuk di Uni Eropa, karena dinilai belum cukup tegas dalam menyaring produk berbahaya atau ilegal yang beredar di platformnya. Kasus ini menegaskan pentingnya pengawasan orang tua terhadap aktivitas belanja dan penggunaan internet oleh anak-anak, sekaligus menjadi peringatan bahwa satu klik di dunia digital bisa berujung pada konsekuensi serius di dunia nyata.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Berita Lainnya

WELLINGTON — Kasus medis tak biasa terjadi di Selandia Baru setelah seorang remaja laki-laki berusia 13 tahun menelan hingga 100 magnet kecil berkekuatan tinggi yang dibelinya melalui platform belanja daring Temu. Aksi berbahaya tersebut berujung pada operasi besar setelah magnet-magnet itu menyebabkan kerusakan serius pada organ dalam tubuhnya. Remaja itu semula dibawa ke Rumah Sakit Tauranga, Pulau Utara, karena mengalami nyeri perut selama empat hari. Setelah dilakukan pemeriksaan medis, dokter menemukan adanya kumpulan magnet di dalam usus. “Dia mengungkapkan telah menelan sekitar 80–100 magnet berkekuatan tinggi (neodymium) berukuran 5×2 milimeter sekitar satu minggu sebelumnya,” tulis laporan di New Zealand Medical Journal, Jumat (24/10/2025). Magnet neodymium tersebut sejatinya sudah dilarang beredar di Selandia Baru sejak 2013 karena risiko keselamatan yang tinggi, terutama bagi anak-anak. Namun, laporan mengungkapkan bahwa remaja ini masih bisa membelinya secara daring melalui Temu, salah satu platform e-commerce asal Tiongkok yang tengah populer secara global. Hasil sinar-X memperlihatkan magnet-magnet itu menggumpal membentuk empat garis lurus di dalam perut sang remaja. “Ini tampaknya berada di bagian usus yang terpisah namun saling menempel akibat gaya magnet,” ujar pihak medis. Kondisi itu menyebabkan nekrosis, atau kematian jaringan, di empat area usus halus dan sekum, bagian dari usus besar. Tim dokter bedah kemudian melakukan operasi pengangkatan jaringan mati sekaligus mengeluarkan seluruh magnet dari tubuh pasien. Setelah menjalani perawatan intensif selama delapan hari, remaja tersebut akhirnya diperbolehkan pulang. Dalam laporan medisnya, dokter Binura Lekamalage, Lucinda Duncan-Were, dan Nicola Davis menulis bahwa kasus ini menjadi pengingat bahaya besar yang bisa timbul dari akses bebas anak-anak terhadap produk berisiko di pasar online. “Kasus ini tidak hanya menyoroti bahaya konsumsi magnet, tetapi juga bahaya pasar daring bagi populasi anak-anak kita,” tulis mereka. Selain itu, para ahli juga memperingatkan kemungkinan komplikasi jangka panjang akibat insiden ini, termasuk sumbatan usus, hernia perut, serta nyeri kronis yang dapat muncul di kemudian hari. Menanggapi laporan tersebut, pihak Temu menyampaikan penyesalan dan berjanji akan menyelidiki kasus ini secara menyeluruh. “Kami telah meluncurkan tinjauan internal dan menghubungi penulis artikel New Zealand Medical Journal untuk mendapatkan informasi lebih lanjut,” ujar juru bicara Temu dalam pernyataan resminya. Namun, Temu menyebut belum dapat memastikan apakah magnet yang digunakan anak tersebut benar-benar dibeli melalui platform mereka. “Meskipun demikian, tim kami sedang meninjau daftar produk yang relevan untuk memastikan kepatuhan penuh terhadap peraturan keselamatan setempat,” tambahnya. Temu, yang merupakan raksasa e-commerce asal Tiongkok, beberapa kali dikritik di pasar internasional, termasuk di Uni Eropa, karena dinilai belum cukup tegas dalam menyaring produk berbahaya atau ilegal yang beredar di platformnya. Kasus ini menegaskan pentingnya pengawasan orang tua terhadap aktivitas belanja dan penggunaan internet oleh anak-anak, sekaligus menjadi peringatan bahwa satu klik di dunia digital bisa berujung pada konsekuensi serius di dunia nyata.