Tuntutan 17+8 Rakyat: Tenggat Jangka Pendek 5 September, Banyak Belum Terpenuhi

JAKARTA — Gelombang demonstrasi yang berlangsung pada 25–31 Agustus 2025 meninggalkan sederet catatan penting bagi pemerintah, DPR, dan partai politik.
Dari aksi yang memakan korban jiwa itu, koalisi masyarakat sipil merumuskan 25 tuntutan yang dikenal dengan istilah 17+8 tuntutan rakyat.
Tuntutan dibagi dua kategori: 17 tuntutan jangka pendek dengan tenggat 5 September 2025, serta 8 tuntutan jangka panjang yang harus dipenuhi paling lambat 31 Agustus 2026.
Hari ini, Jumat (5/9/2025), menjadi batas waktu bagi pemerintah, DPR, dan partai politik untuk merespons 17 poin desakan publik.
Poin-poin tersebut mencakup isu krusial, mulai dari keterlibatan militer dalam pengamanan sipil hingga transparansi penggunaan anggaran negara.
Beberapa poin utama di antaranya adalah: penarikan TNI dari pengamanan sipil, penghentian kriminalisasi terhadap demonstran, penghentian kenaikan tunjangan dan fasilitas anggota DPR, publikasi transparansi anggaran, hingga pemberian sanksi pada kader partai politik yang memicu kemarahan publik.
Dari sederet tuntutan tersebut, sebagian mulai dijalankan. Salah satunya terkait penonaktifan kader partai politik yang dinilai berperilaku tidak etis.
Sejumlah partai mengambil langkah internal. NasDem menonaktifkan Sahroni dan Nafa Urbach, sementara PAN menonaktifkan Eko Patrio dan Uya Kuya.
PDIP pun menyampaikan permintaan maaf atas tindakan dua kadernya, Deddy Sitorus dan Sadarestuwati.
PAN dan NasDem bahkan meminta DPR menghentikan tunjangan dan gaji kader mereka yang telah dinonaktifkan. Permintaan ini sudah dalam proses di Kesekjenan DPR RI.
Langkah tersebut dipandang publik sebagai sinyal awal bahwa elite politik merespons tekanan rakyat.
Meski demikian, tidak semua poin segera ditindaklanjuti. Pembebasan demonstran yang ditangkap antara 25–31 Agustus masih menjadi tuntutan yang belum dipenuhi.
Begitu pula dengan transparansi anggaran, penarikan TNI ke barak, serta pembentukan tim investigasi independen atas tewasnya Affan Kurniawan dan sejumlah demonstran lain.
Selain 17 poin yang harus dituntaskan segera, koalisi sipil juga merumuskan 8 tuntutan jangka panjang dengan tenggat waktu setahun, yakni hingga 31 Agustus 2026.
Tuntutan itu menyasar perubahan struktural, seperti reformasi besar-besaran DPR, reformasi partai politik, pengesahan RUU Perampasan Aset, reformasi kepolisian, hingga peninjauan ulang kebijakan ekonomi yang dianggap merugikan rakyat.
Terdapat pula dorongan memperkuat lembaga independen seperti Komnas HAM, serta evaluasi tata kelola program strategis nasional (PSN), UU Cipta Kerja, dan Danantara.
Realitas di lapangan menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil dari tuntutan jangka pendek yang telah ditindaklanjuti.
Sementara mayoritas desakan publik masih menunggu komitmen nyata pemerintah dan parlemen.
Gelombang demonstrasi yang lalu menjadi pengingat bahwa ada jurang kepercayaan yang lebar antara rakyat dan elite politik.
Tuntutan 17+8 lahir dari akumulasi kekecewaan, mulai dari isu demokrasi, perlindungan HAM, hingga kebijakan ekonomi yang dinilai menekan kelompok rentan seperti buruh.
Tenggat 5 September bukan sekadar tanggal, tetapi juga uji kredibilitas pemerintah dan DPR dalam merespons aspirasi rakyat.
Sementara itu, tenggat 31 Agustus 2026 akan menjadi titik ukur apakah reformasi yang lebih besar benar-benar dijalankan atau hanya berhenti pada janji. []
Nur Quratul Nabila A