UMKM Berjuang, Program Hanya Seremonial

SAMARINDA – Di tengah gempuran produk pabrikan dan maraknya promosi UMKM oleh pemerintah, kisah perjuangan Misnawati, pemilik Keripik Singkong Sabrina, seolah menjadi cermin betapa pelaku usaha kecil masih harus berjuang sendiri di lapangan. Usaha rumahan yang berdiri sejak 2004 itu tumbuh bukan karena dukungan sistem, melainkan berkat ketekunan dan adaptasi Misnawati menghadapi kerasnya pasar.
“Kami mulai usaha ini sejak tahun 2004, awalnya hanya berjualan kecil-kecilan dengan peralatan sederhana dan menggunakan gerobak,” ujar Misnawati saat ditemui di rumah sekaligus tempat produksinya di Jalan Lambung Mangkurat Gang 5, Samarinda, Rabu (08/10/2025).
Ia menceritakan bagaimana dulu dirinya berkeliling menjajakan keripik ke warung-warung dengan harga Rp800 per bungkus. “Pertama kali kami menaruh sekitar 25 renteng di beberapa warung,” katanya. Namun perjalanan itu tidak selalu manis. Banyak warung menolak, bahkan ada yang tidak membayar titipan. “Pernah juga ada kendala, seperti pembayaran yang tidak diberikan oleh warung tempat kami menitipkan, bahkan ada yang menolak untuk dititipi lagi,” kenangnya.
Kisah ini menggambarkan ironi: di tengah gembar-gembor program pemberdayaan UMKM, pelaku kecil seperti Misnawati harus mengandalkan diri sendiri. Tidak ada subsidi bahan baku, pelatihan pemasaran, atau bantuan peralatan. Ia justru bertahan dengan cara mencari peluang baru melalui pemasaran digital. “Akhirnya kami mencoba berjualan secara online dan membuat akun di Google Bisnis untuk memperluas jangkauan pemasaran,” jelasnya.
Kini, Keripik Singkong Sabrina hadir dalam berbagai ukuran, dari Rp5.000 hingga Rp35.000 per bungkus. Meski tampak sederhana, proses produksinya padat tenaga. “Biasanya singkong datang siang hari, lalu dini hari kami mulai mengupas dan memotong. Pagi hari kami menggoreng maksimal sekitar 150 kilogram, kemudian siang harinya membumbui dan mengemas. Rata-rata waktu produksinya minimal delapan jam per hari,” terangnya.
Namun, di balik itu semua, tantangan klasik masih menghantui: bahan baku bergantung pada pasokan petani. “Karena tidak punya lahan sendiri, kami membeli dari petani. Kadang stoknya melimpah, tapi bisa juga langka,” ungkapnya.
Usaha Misnawati seharusnya mendapat perhatian lebih dari pemerintah daerah. Di tengah jargon “UMKM naik kelas”, kenyataannya banyak pelaku seperti dirinya masih berjibaku dengan keterbatasan modal dan infrastruktur produksi. Sementara itu, dukungan yang dijanjikan sering kali berhenti di seminar dan dokumentasi seremonial.
Meski begitu, Misnawati tak menyerah. “Kami punya dua varian rasa, yaitu asin dan pedas, yang jadi favorit pembeli. Ke depan kami ingin menambah varian baru agar pelanggan tidak bosan,” ujarnya menutup perbincangan dengan senyum yang menyimpan kelelahan sekaligus harapan.
Kisah Keripik Singkong Sabrina menjadi pengingat bahwa kemajuan UMKM bukan sekadar slogan di spanduk dinas, melainkan perjuangan nyata dari dapur sempit, tangan terkelupas minyak panas, dan tekad untuk bertahan di pasar yang tak selalu adil bagi yang kecil. []
Penulis: Rifky Irlika Akbar | Penyunting: Aulia Setyaningrum