Unjuk Rasa Warnai Sidang Pembunuhan Santri, Keluarga Korban Minta Perubahan Dakwaan

BANDUNG — Kasus pembunuhan santri berinisial AN (14) di Pondok Pesantren Ar-Rohman, Kecamatan Ibun, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, terus menjadi sorotan publik.
Pelaku yang diketahui bernama Fauzan Hamzah (25), anak dari pemilik pondok pesantren tersebut, telah ditetapkan sebagai terdakwa.
Peristiwa tragis yang terjadi pada Rabu, 5 Maret 2025, kini memunculkan tagar #KeadilanUntukAhmad di media sosial sebagai bentuk desakan masyarakat agar proses hukum berjalan secara transparan dan adil.
Anggota DPRD Jawa Barat dari Fraksi PKB, Humaira Zahrotun Noor, turut menyampaikan keprihatinannya atas kasus tersebut. Ia menyoroti lemahnya perlindungan hukum terhadap anak serta kejanggalan dalam proses penanganan perkara.
“Kasus pembunuhan AN adalah tragedi yang menyoroti berbagai kejanggalan dalam penegakan hukum dan perlindungan anak di Indonesia. Penting bagi aparat penegak hukum dan lembaga peradilan untuk bersikap terbuka. Keadilan harus ditegakkan,” ujar Humaira saat dikonfirmasi melalui pesan singkat, Rabu (23/7/2025).
Menurut Humaira, tagar #KeadilanUntukAhmad menjadi simbol keresahan publik yang perlu dijawab oleh aparat penegak hukum dengan tindakan nyata.
“Tagar itu adalah seruan yang mesti dijawab dengan komitmen kuat untuk mengungkap kebenaran serta memberikan hukuman yang setimpal bagi pelaku,” imbuhnya.
Ia juga berjanji akan terus mengawal kasus ini dan mendorong reformasi hukum yang lebih berpihak kepada korban, khususnya anak-anak.
“Negara harus hadir. Setiap nyawa yang hilang tidak bisa tergantikan, dan keadilan bagi kemanusiaan harus tetap ditegakkan,” tegasnya.
Pada hari yang sama, Rabu (23/7/2025), puluhan warga yang terdiri atas keluarga korban, kerabat, dan masyarakat Kecamatan Solokanjeruk menggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung Pengadilan Negeri (PN) Bale Bandung. Mereka menuntut keterbukaan proses hukum terhadap terdakwa Fauzan Hamzah.
Aksi yang dimulai pukul 10.00 WIB itu diwarnai dengan orasi bergantian serta pembentangan puluhan spanduk berisi tuntutan keadilan dan foto korban. Massa menilai banyak kejanggalan dalam penanganan perkara ini.
Kuasa hukum keluarga korban menyebutkan bahwa dakwaan terhadap terdakwa tidak mencerminkan beratnya perbuatan yang dilakukan. Pelaku hanya dijerat dengan Pasal 351 ayat 1 KUHP tentang penganiayaan ringan dan Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan biasa.
Padahal, menurut pihak keluarga, seharusnya Fauzan dijerat dengan pasal pembunuhan terhadap anak di bawah umur, sebagaimana diatur dalam Pasal 80 ayat 3 Undang-Undang Perlindungan Anak.
Selain itu, mereka juga mempertanyakan mengapa pasal pembunuhan berencana tidak diterapkan.
“Sejak awal, kami menemukan banyak kejanggalan. Bahkan, kami sebagai keluarga korban hanya sekali dihadirkan dalam persidangan, yakni pada sidang kedua. Saat ini sudah memasuki sidang keempat dan kami tidak dilibatkan lagi,” ujar salah satu perwakilan keluarga.
Mereka juga mendesak agar proses hukum berjalan secara transparan dan akuntabel, tanpa intervensi dari pihak manapun, mengingat posisi terdakwa sebagai anak pemilik pondok pesantren.
Kasus ini pun menjadi perhatian luas, tidak hanya di tingkat lokal tetapi juga nasional, mengingat pentingnya penegakan hukum yang adil, terutama ketika korban adalah anak yang seharusnya mendapatkan perlindungan penuh dari negara. []
Nur Quratul Nabila A