Upaya Najib Jalani Hukuman di Rumah Kandas
KUALA LUMPUR – Upaya mantan Perdana Menteri Malaysia Najib Razak untuk menjalani sisa masa hukumannya di luar penjara resmi kandas setelah Pengadilan Tinggi Kuala Lumpur menolak permohonan peninjauan yudisial yang diajukannya. Putusan ini menegaskan sikap peradilan Malaysia dalam menangani perkara korupsi besar yang telah mencoreng kepercayaan publik dan mengguncang sistem politik negara tersebut selama bertahun-tahun.
Dalam sidang yang digelar pada Senin (22/12/2025), hakim Alice Loke Yee Ching Loke menyatakan tidak ada dasar hukum yang memungkinkan pengadilan mengabulkan permohonan Najib untuk menjalani hukuman dalam bentuk tahanan rumah. Najib, yang kini berusia 72 tahun, tengah menjalani hukuman enam tahun penjara atas keterlibatannya dalam skandal 1Malaysia Development Berhad (1MDB), salah satu kasus korupsi terbesar dalam sejarah Malaysia.
Tim penasihat hukum Najib sebelumnya berargumen bahwa klien mereka berhak menjalani sisa hukuman di rumah berdasarkan keberadaan dokumen yang disebut sebagai “adendum kerajaan”. Dokumen tersebut diklaim merupakan perintah dari mantan Raja Malaysia yang memberikan izin khusus terkait pelaksanaan hukuman Najib. Namun, pengadilan menilai klaim tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
“Oleh karena itu, pengadilan tidak dapat mengeluarkan … perintah untuk memerintahkan tahanan rumah,” tegas hakim Alice dalam putusannya.
“Tidak ada ketetapan hukum untuk tahanan rumah di Malaysia. Peninjauan yudisial ini ditolak,” demikian bunyi putusan hakim Alice.
Putusan tersebut sekaligus mempersempit ruang manuver hukum Najib, yang selama ini masih berupaya mendapatkan keringanan lebih lanjut setelah hukuman awalnya dikurangi. Pada Juli 2020, Najib dijatuhi vonis 12 tahun penjara atas kasus korupsi 1MDB. Hukuman tersebut kemudian dipangkas menjadi enam tahun penjara oleh Dewan Pengampunan Malaysia, sebuah keputusan yang juga sempat menuai perdebatan di tengah masyarakat.
Penolakan permohonan tahanan rumah ini dinilai penting dalam menjaga konsistensi hukum dan kesetaraan di hadapan hukum, khususnya bagi mantan pejabat tinggi negara. Banyak kalangan menilai bahwa keputusan pengadilan tersebut mengirimkan pesan tegas bahwa status politik dan kekuasaan masa lalu tidak dapat dijadikan alasan untuk memperoleh perlakuan khusus dalam proses penegakan hukum.
Kasus 1MDB sendiri memiliki dampak internasional yang luas. Skandal ini memicu penyelidikan di lebih dari delapan negara, termasuk Amerika Serikat, Swiss, Singapura, dan Uni Emirat Arab. Proses hukum lintas negara tersebut menghasilkan pengembalian dana miliaran dolar AS melalui berbagai mekanisme penyelesaian hukum dan perdata.
Secara politik, skandal 1MDB juga berperan besar dalam kekalahan Najib dan koalisinya pada pemilu 2018, yang menandai perubahan besar dalam peta kekuasaan Malaysia. Hingga kini, bayang-bayang kasus tersebut masih membayangi reputasi Najib di dalam dan luar negeri.
Ke depan, tekanan hukum terhadap Najib belum berakhir. Pada Jumat (26/12/2025) mendatang, ia dijadwalkan menghadapi putusan lain dalam persidangan terpisah yang juga berkaitan dengan skandal 1MDB. Putusan tersebut berpotensi kembali menentukan arah masa depan hukum dan politik mantan pemimpin Malaysia itu. []
Siti Sholehah.
