Warga Gugat UU Perkawinan, MK Diminta Beri Kepastian Nikah Beda Agama

JAKARTA – Upaya sejumlah warga negara untuk memperoleh kepastian hukum atas perkawinan beda agama kembali bergulir di Mahkamah Konstitusi (MK). Kali ini, tiga orang pemohon mengajukan gugatan terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Mereka meminta MK meninjau ulang ketentuan yang selama ini dinilai menutup ruang legal bagi pasangan yang berbeda keyakinan untuk menikah secara sah menurut hukum negara.

Berdasarkan informasi dari situs resmi Mahkamah Konstitusi, gugatan tersebut diajukan oleh Henoch Thomas, Uswatun Hasanah, dan Syamsul Jahidin. Permohonan mereka telah teregistrasi dengan nomor perkara 265/PUU-XXIII/2025 dan secara khusus mempersoalkan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan.

Pasal yang digugat menyatakan bahwa:

(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

Para pemohon menilai rumusan pasal tersebut menimbulkan tafsir yang membatasi hak warga negara untuk membentuk keluarga, terutama bagi pasangan yang berasal dari latar belakang agama atau kepercayaan berbeda. Oleh karena itu, mereka meminta Mahkamah Konstitusi untuk menghapus pasal tersebut atau setidaknya mengubah redaksinya agar lebih memberikan ruang kepastian hukum.

Pemohon mengusulkan agar Pasal 2 ayat (1) diubah menjadi:

Pasal 2 ayat (1):
Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu, tiap-tiap perkawinan antarpemeluk agama dan kepercayaan yang berbeda sepanjang telah sah dinyatakan menurut hukum agama dan kepercayaan masing-masing itu.

Dalam permohonannya, para pemohon menegaskan bahwa perkawinan beda agama merupakan kenyataan sosial yang tidak dapat diabaikan. Mereka menyebut praktik tersebut telah berlangsung lama dan jumlahnya terus meningkat, meskipun belum sepenuhnya diakomodasi oleh sistem hukum nasional.

“Bahwa berdasarkan data Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) mencatat sebanyak 1.655 pasangan yang melangsungkan perkawinan beda agama dalam periode 2005 hingga Juli 2023, dengan tren yang terus meningkat setiap tahunnya,” ujar pemohon.

Para pemohon juga menilai Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan telah menimbulkan ketidakpastian hukum, khususnya dalam proses pencatatan perkawinan. Akibat ketentuan tersebut, pasangan beda agama kerap menghadapi penolakan pencatatan sehingga status perkawinan mereka tidak diakui secara administratif oleh negara.

Persoalan tersebut, menurut pemohon, semakin kompleks setelah terbitnya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023. Surat edaran itu secara tegas melarang hakim mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antarumat yang berbeda agama dan kepercayaan.

“Bahwa dengan adanya SEMA No 2 Tahun 2023, seluruh ruang hukum yang sebelumnya tersedia melalui mekanisme penetapan Pengadilan Negeri telah tertutup. Sebelum terbitnya SEMA ini, masih terdapat cara untuk melakukan pencatatan perkawinan antar agama melalui penetapan pengadilan. Namun, dengan berlakunya SEMA No 2 Tahun 2023, tidak ada lagi kemungkinan bagi perkawinan antar-agama mencatatkan perkawinannya melalui penetapan pengadilan,” ujarnya.

Meski demikian, para pemohon menegaskan bahwa permohonan ini bukan bertujuan memaksa pengadilan untuk mengabulkan setiap permohonan pencatatan perkawinan beda agama. Mereka hanya meminta adanya kejelasan norma agar pengadilan tidak serta-merta menolak permohonan dengan alasan larangan undang-undang.

“Bahwa pemohon tidak bermaksud meminta Mahkamah Konstitusi untuk mewajibkan pengadilan negeri mengabulkan setiap permohonan penetapan pencatatan perkawinan antaragama, melainkan menegaskan agar pengadilan tidak menolak permohonan tersebut dengan alasan bahwa Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan melarang pencatatan perkawinan antaragama,” ujarnya.

Melalui gugatan ini, para pemohon berharap Mahkamah Konstitusi dapat memberikan tafsir konstitusional yang lebih menjamin hak warga negara atas kepastian hukum, sekaligus merespons dinamika sosial yang terus berkembang di masyarakat Indonesia. []

Siti Sholehah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *