Warga Kulit Hitam di Jerman Hadapi Tekanan Sosial dan Ekonomi

JAKARTA — Ketegangan politik yang meningkat di Jerman akibat bangkitnya kelompok sayap kanan disertai dengan kemandekan ekonomi nasional, telah memperburuk kondisi sosial bagi warga keturunan Afrika dan komunitas kulit hitam. Di tengah fokus politik yang semakin keras terhadap isu migrasi, kelompok minoritas ini menghadapi diskriminasi yang semakin nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut Tahir Della dari organisasi Initiative of Black People in Germany, arah kebijakan dan perdebatan politik yang terus menyoroti migrasi menimbulkan kekhawatiran serius. “Kami sudah mulai merasakannya. Setiap kali muncul perdebatan soal migrasi, keberadaan orang kulit hitam dan keturunan Afrika di Jerman sering dipertanyakan,” ujarnya kepada DW.
Laporan “Being Black in the EU 2023” dari Badan Hak Asasi Manusia Uni Eropa (EUFRA) mengungkapkan bahwa tingkat diskriminasi terhadap orang kulit hitam di Jerman meningkat tajam dalam dua tahun terakhir. Kondisi itu diperparah setelah Partai Alternatif untuk Jerman (AfD), yang dikenal dengan sikap anti-imigrannya, menjadi partai terbesar kedua dalam pemilu federal 2025.
Krisis ekonomi yang melanda Jerman turut memperdalam ketimpangan. Negara yang sebelumnya menjadi motor industri Eropa itu kini stagnan selama dua tahun terakhir, bahkan menjadi satu-satunya anggota G7 yang tidak mengalami pertumbuhan ekonomi. Akibatnya, kelompok imigran—terutama asal Afrika sub-Sahara—menghadapi tantangan ganda: diskriminasi sosial dan kesulitan ekonomi.
Salah satu contohnya adalah Arnaud de Souza, perawat asal Benin yang telah bekerja di Berlin selama satu dekade. Ia bercerita ada pasien yang menolak dirawat oleh tenaga medis kulit hitam. “Dalam dunia kesehatan, tim kerja itu sangat penting,” kata de Souza, menambahkan bahwa diskriminasi seperti itu kerap dialami rekan-rekannya di daerah kecil.
Data EUFRA menunjukkan tingkat pengangguran di kalangan imigran Afrika sub-Sahara mencapai lebih dari 16 persen, jauh di atas rata-rata nasional. Selain itu, kesenjangan pendapatan antara warga lokal dan imigran masih lebar akibat sulitnya pengakuan ijazah luar negeri dan diskriminasi dalam proses perekrutan kerja.
Fenomena “sorting” — di mana imigran terkonsentrasi di sektor berupah rendah — membuat banyak warga keturunan Afrika terjebak pada pekerjaan kasar. Riset Universitas Siegen menunjukkan bahwa pelamar dengan nama bernuansa Afrika atau Arab paling jarang mendapat panggilan wawancara, meski Jerman tengah kekurangan tenaga magang.
Sebagai pembanding, Luksemburg kini mulai menunjukkan kemajuan dengan menyusun rencana aksi nasional melawan rasisme. Frederic Docquier, ekonom asal Belgia, mengatakan, “Rencana ini bertujuan mengambil langkah konkret untuk memerangi semua bentuk rasisme melalui penelitian, pelatihan, dan kampanye kesadaran publik.”
Della berharap Jerman dapat mengikuti langkah serupa. “Kita perlu tahu seperti apa rasanya tumbuh dan hidup di sini, serta pengalaman yang mereka alami setiap hari,” ujarnya. []
Siti Sholehah.