Zelensky Nilai Serangan Terbaru Bukti Rusia Tak Ingin Damai
JAKARTA – Ibu kota Ukraina, Kyiv, kembali menjadi sasaran serangan udara besar-besaran Rusia pada Sabtu (27/12/2025). Rentetan serangan menggunakan drone dan rudal tersebut menewaskan seorang warga sipil perempuan serta menyebabkan gangguan besar pada pasokan listrik dan pemanas bagi ratusan ribu penduduk. Serangan ini terjadi di tengah meningkatnya aktivitas diplomatik untuk mencari jalan keluar dari konflik berkepanjangan antara kedua negara.
Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky menilai serangan tersebut sebagai bukti bahwa Rusia belum menunjukkan itikad untuk menghentikan perang. Pernyataan itu disampaikan Zelensky menjelang keberangkatannya ke Amerika Serikat guna bertemu Presiden AS Donald Trump, dalam rangka membahas rencana penghentian invasi Rusia yang telah berlangsung sejak 2022.
Menurut Zelensky, skala serangan kali ini tergolong sangat besar dan menyasar tidak hanya wilayah ibu kota, tetapi juga daerah sekitarnya. Ia mengungkapkan bahwa ratusan drone dan puluhan rudal dikerahkan dalam satu rangkaian serangan yang berlangsung dalam waktu relatif singkat.
Zelensky menyebutkan bahwa sekitar 500 drone dan 40 rudal menghantam Kyiv dan wilayah sekitarnya. Ia kemudian mempertanyakan keseriusan Rusia dalam mengikuti berbagai pembicaraan internasional yang bertujuan mengakhiri konflik.
“Perwakilan Rusia terlibat dalam pembicaraan panjang, tetapi pada kenyataannya, Kinzhal dan ‘Shahed’ yang berbicara untuk mereka,” katanya, merujuk pada rudal balistik Kinzhal dan drone Shahed yang digunakan dalam serangan-serangan Rusia.
Ia menambahkan bahwa intensitas serangan tersebut justru menunjukkan eskalasi tekanan terhadap Ukraina dan pihak-pihak lain di kancah global.
“Mereka tidak ingin mengakhiri perang dan berusaha menggunakan setiap kesempatan untuk menyebabkan Ukraina menderita lebih banyak lagi dan meningkatkan tekanan mereka pada negara lain di seluruh dunia,” tambahnya.
Di sisi lain, otoritas Rusia sebelumnya menyatakan bahwa pemerintah Ukraina bersama para pendukungnya dari Uni Eropa berupaya “menggagalkan” rencana perdamaian yang dimediasi oleh Amerika Serikat. Pernyataan tersebut memperlihatkan masih lebarnya perbedaan pandangan antara kedua belah pihak terkait proses penghentian perang.
Dampak serangan kali ini tidak hanya menimbulkan korban jiwa, tetapi juga memperparah krisis kemanusiaan, terutama di sektor energi. Puluhan orang dilaporkan mengalami luka-luka, sementara ratusan ribu penduduk Kyiv kehilangan akses terhadap listrik dan pemanas di tengah suhu udara yang sangat dingin.
Militer Rusia mengklaim bahwa target utama serangan adalah infrastruktur dan fasilitas energi yang disebut digunakan untuk mendukung kepentingan Angkatan Bersenjata Ukraina. Selain itu, Rusia menyatakan telah menyerang sejumlah lokasi militer dengan menggunakan rudal hipersonik dan drone.
Perdana Menteri Ukraina Yulia Svyrydenko menyampaikan bahwa serangan tersebut berdampak pada sekitar 600.000 konsumen yang kini tidak memiliki pasokan listrik. Pihak berwenang juga melaporkan bahwa sejumlah bangunan sipil turut terdampak, termasuk apartemen warga, asrama universitas, serta pom bensin.
Serangan terbaru ini kembali menegaskan rapuhnya kondisi infrastruktur sipil Ukraina di tengah konflik yang belum menunjukkan tanda-tanda mereda, sekaligus menjadi latar yang berat bagi upaya diplomasi yang tengah diupayakan di tingkat internasional. []
Siti Sholehah.
