Zelensky Ragukan Pembicaraan Rusia-AS Tanpa Tekanan

JAKARTA – Upaya diplomatik untuk mencari jalan keluar dari perang Ukraina kembali berlangsung, menyusul pertemuan antara utusan Rusia dan Amerika Serikat (AS) di Miami, Amerika Serikat. Namun, langkah tersebut belum sepenuhnya mendapat respons optimistis dari Kyiv. Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky secara terbuka menyatakan keraguannya terhadap efektivitas perundingan yang melibatkan Rusia dan AS tanpa adanya tekanan nyata terhadap Moskow.

Pertemuan di Miami tersebut menjadi bagian dari rangkaian dialog informal yang dimediasi Amerika Serikat, dengan tujuan mengeksplorasi kemungkinan mengakhiri konflik bersenjata yang telah berlangsung hampir empat tahun. Meski demikian, Zelensky menilai pembicaraan tersebut berpotensi tidak menghasilkan terobosan berarti apabila Rusia tidak dihadapkan pada tekanan politik dan ekonomi yang lebih kuat.

“Saya tidak yakin ada sesuatu yang baru yang bisa dihasilkan,” kata Zelensky dilansir kantor berita AFP, Minggu (21/12/2025).

Keraguan itu muncul di tengah informasi bahwa Washington telah mengusulkan pertemuan tatap muka pertama antara Ukraina dan Rusia dalam enam bulan terakhir. Usulan tersebut disebut-sebut sebagai peluang awal membuka kembali jalur diplomasi langsung antara kedua negara yang bertikai. Namun, Zelensky menilai pertemuan semacam itu belum tentu membawa hasil konkret jika posisi Rusia tidak berubah.

Zelensky menegaskan bahwa peran Amerika Serikat sangat krusial dalam menentukan arah penyelesaian konflik. Menurutnya, hanya AS yang memiliki pengaruh cukup besar untuk mendorong Presiden Rusia Vladimir Putin menghentikan agresi militer di Ukraina. Karena itu, ia meminta Washington untuk meningkatkan tekanan terhadap Moskow.

“Amerika harus dengan jelas mengatakan jika bukan diplomasi, maka akan ada tekanan penuh… Putin belum merasakan tekanan yang seharusnya ada,” katanya.

Di sisi lain, pertemuan di Miami dihadiri oleh utusan Rusia Kirill Dmitriev, yang tiba bersamaan dengan delegasi Ukraina dan perwakilan negara-negara Eropa. Dialog tersebut dimediasi oleh utusan khusus AS, Steve Witkoff, serta Jared Kushner, menantu Presiden Donald Trump. Keterlibatan tokoh-tokoh dekat dengan Gedung Putih menunjukkan keseriusan Washington dalam mengupayakan peran sebagai penengah.

Utusan Presiden Trump diketahui mendorong sebuah rencana perdamaian yang mencakup pemberian jaminan keamanan dari Amerika Serikat kepada Ukraina. Dalam skema tersebut, Ukraina disebut kemungkinan harus menerima kompromi teritorial, termasuk menyerahkan sebagian wilayah yang saat ini dikuasai Rusia. Wacana ini memicu perdebatan luas, baik di Ukraina maupun di kalangan sekutunya, mengingat isu kedaulatan wilayah menjadi garis merah bagi Kyiv.

Meski demikian, pemerintah Amerika Serikat berupaya meredam kekhawatiran tersebut. Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio pada Jumat sebelumnya menegaskan bahwa Washington tidak akan memaksakan kesepakatan apa pun kepada Ukraina tanpa persetujuan penuh dari pemerintah Kyiv. Pernyataan ini dimaksudkan untuk menegaskan bahwa keputusan akhir tetap berada di tangan Ukraina sebagai pihak yang terdampak langsung oleh perang.

Di tengah dinamika diplomatik tersebut, Zelensky tetap menekankan bahwa perdamaian tidak bisa dicapai hanya melalui pertemuan simbolik atau kompromi sepihak. Ia berulang kali menegaskan bahwa tekanan internasional yang konsisten terhadap Rusia merupakan prasyarat utama agar negosiasi memiliki peluang sukses.

Pertemuan di Miami pun dipandang banyak pihak sebagai ujian awal bagi arah baru diplomasi internasional terkait perang Ukraina. Apakah dialog ini akan menjadi langkah awal menuju perdamaian, atau justru berakhir sebagai pertemuan tanpa hasil konkret, masih sangat bergantung pada sikap Rusia dan ketegasan negara-negara Barat dalam menekan Moskow. []

Siti Sholehah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *