Populasi China Kembali Menyusut, Krisis Demografi Semakin Nyata

BEIJING – China kembali mencatat penurunan jumlah penduduk secara signifikan, menambah kekhawatiran atas krisis demografi yang telah membayangi negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia itu.

Berdasarkan laporan terbaru Biro Statistik Nasional China, jumlah penduduk Negeri Tirai Bambu per akhir tahun 2024 tercatat sebanyak 1,408 miliar jiwa, turun dua juta jiwa dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 1,410 miliar jiwa.

Penurunan ini menandai kelanjutan tren yang sudah berlangsung sejak 2022, ketika populasi China pertama kali mengalami kontraksi setelah lebih dari enam dekade pertumbuhan. Pada 2023, penurunan mencapai 2,8 juta jiwa, sementara pada 2022 berkurang sekitar 850 ribu jiwa.

Faktor utama dari penyusutan ini adalah angka kelahiran yang terus menurun dan tidak mampu mengimbangi angka kematian. Kondisi ini mencerminkan perubahan struktur sosial-ekonomi yang kompleks, termasuk meningkatnya biaya hidup, pendidikan, serta preferensi keluarga muda yang enggan memiliki banyak anak.

Kepala Risiko Negara Asia di lembaga riset BMI, Darren Tay, menilai bahwa tren penurunan populasi dapat menjadi ancaman besar terhadap kelangsungan angkatan kerja nasional dan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) China dalam dekade mendatang.

Ia menyebutkan bahwa perekonomian yang semakin maju menuntut keterampilan lebih tinggi, yang berarti investasi lebih besar dalam membesarkan anak.

“Semakin maju suatu perekonomian, semakin banyak pula keterampilan yang harus dimiliki para pelaku ekonomi, dan dengan demikian, investasi yang diperlukan untuk setiap anak pun meningkat,” jelas Tay, dikutip dari AFP, Sabtu (17/5/2025).

Ekonom senior dari Economic Intelligence Unit (EIU), Tianchen Xu, turut mengingatkan bahwa tingkat kesuburan di China menurun lebih cepat dibanding negara-negara maju lain seperti Korea Selatan dan Jepang.

Menurut prediksi EIU, populasi China akan terus menyusut menjadi 1,317 miliar pada 2050, bahkan bisa merosot drastis hingga hanya 732 juta jiwa pada tahun 2100 apabila tren ini tidak segera dibalik.

Selain risiko kehilangan tenaga kerja produktif, China juga menghadapi tekanan fiskal akibat membesarnya populasi lanjut usia.

Lonjakan jumlah pensiunan diprediksi akan menguras anggaran sosial dan meningkatkan beban negara. Dalam laporan EIU disebutkan bahwa reformasi sistem pensiun menjadi langkah krusial.

“Jika usia pensiun dinaikkan menjadi 65 tahun pada 2035, kekurangan anggaran pensiun dapat dikurangi sebesar 20 persen dan pensiun bersih yang diterima masyarakat dapat meningkat sebesar 30 persen,” ungkap laporan tersebut.

Pemerintah China saat ini tengah mengkaji sejumlah kebijakan insentif untuk mendorong angka kelahiran, termasuk dukungan finansial bagi keluarga, perluasan cuti melahirkan, hingga subsidi pendidikan.

Namun, para analis memperingatkan bahwa tanpa reformasi struktural yang menyeluruh, krisis demografi akan terus menghantui masa depan ekonomi China. []

Nur Quratul Nabila A

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *