Suara Perempuan di Parlemen Belum Cukup Didengar, Kata Sri Puji

SAMARINDA – Sorotan terhadap kesenjangan peran perempuan dalam dunia politik kembali mencuat dari lembaga legislatif Kota Samarinda. Wakil Ketua Komisi IV DPRD Kota Samarinda, Sri Puji Astuti, menilai bahwa keterlibatan perempuan dalam politik lokal masih belum mencapai titik ideal, meskipun secara kuantitas sudah menunjukkan peningkatan dalam beberapa tahun terakhir.
Dalam sebuah wawancara yang dilakukan di ruang kerjanya pada Selasa (21/05/2025), Sri Puji menegaskan pentingnya menempatkan keterwakilan perempuan bukan sekadar sebagai simbol statistik atau pemenuhan kuota, melainkan sebagai kekuatan nyata dalam pengambilan keputusan publik. “Kita tidak bisa hanya puas dengan keberadaan perempuan di kursi dewan. Yang jauh lebih penting adalah bagaimana suara mereka benar-benar terdengar dan diperhitungkan dalam keputusan strategis,” ujarnya lugas.
Dengan pengalaman lebih dari sepuluh tahun di lembaga legislatif, Sri Puji melihat langsung bagaimana perjuangan perempuan untuk mendapatkan ruang dan pengaruh dalam struktur politik masih menghadapi banyak tantangan. Ia menyebut, salah satu hambatan utama terletak pada minimnya akses perempuan terhadap pendidikan politik dan kepemimpinan sejak usia muda. Menurutnya, tanpa bekal yang memadai di bidang tersebut, sulit bagi perempuan untuk masuk dan bertahan di arena politik yang kompetitif.
“Jika kita ingin mencetak lebih banyak pemimpin perempuan yang tangguh, maka investasi utama adalah di bidang pendidikan. Perempuan harus dibekali dengan wawasan politik, keterampilan kepemimpinan, dan kepercayaan diri agar siap bersaing dan berperan aktif,” tegas Sri Puji.
Ia juga menyoroti pentingnya penerapan regulasi afirmatif seperti kuota 30 persen untuk keterwakilan perempuan di parlemen. Namun, ia mengingatkan bahwa kebijakan semacam itu harus dibarengi dengan sistem pendukung yang kuat, baik melalui pelatihan, penguatan jaringan antarperempuan, maupun penciptaan lingkungan kerja politik yang bebas dari diskriminasi dan bias gender.
Sri Puji meyakini bahwa politik yang inklusif akan melahirkan kebijakan yang lebih menyentuh realitas sosial, terutama terkait isu pendidikan, perlindungan anak, dan kesejahteraan keluarga. “Perempuan membawa perspektif berbeda dalam memandang masalah sosial, pendidikan, dan perlindungan anak. Jika suara perempuan diperkuat, maka kebijakan yang lahir akan lebih komprehensif,” tambahnya.
Ia berharap kolaborasi antara pemerintah daerah, partai politik, dan organisasi masyarakat sipil dapat diperkuat untuk menciptakan ekosistem politik yang mendorong partisipasi perempuan secara aktif. Menurutnya, langkah ini sangat strategis untuk memastikan bahwa pembangunan tidak hanya adil secara gender, tetapi juga berkelanjutan dalam jangka panjang.
Slamet