DPRD Soroti Ketimpangan Jalan di Pedalaman Kaltim

ADVERTORIAL — Pembangunan infrastruktur jalan di Kalimantan Timur (Kaltim) kembali menjadi topik krusial, menyusul kritik dari kalangan legislatif terhadap minimnya perhatian pemerintah provinsi terhadap wilayah-wilayah pedalaman. Ketersediaan akses jalan yang layak dinilai belum menyentuh secara merata masyarakat di kawasan terluar dan perbatasan.

Anggota Komisi III DPRD Kaltim, Apansyah, menilai bahwa pembangunan infrastruktur masih terpusat pada daerah-daerah yang dinilai strategis secara ekonomi dan politik, seperti kawasan perkotaan dan koridor jalan tol. Menurutnya, wilayah-wilayah pedalaman seperti Mahakam Ulu, Kutai Barat, dan kawasan perbatasan lainnya justru mengalami keterlambatan dalam pembangunan akses dasar.

“Kalau jalan antardesa masih rusak parah, jangan bicara konektivitas. Ini menyangkut kebutuhan dasar warga, terutama di wilayah yang aksesnya sudah sulit sejak lama,” tegas Apansyah, Rabu (4/6/2025).

Berdasarkan laporan Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, dan Perumahan Rakyat (PUPR-PERA) Kalimantan Timur, kemantapan jalan provinsi per Mei 2025 baru mencapai 82,21 persen. Dari total 931 kilometer jalan provinsi, sekitar 168 kilometer masih dalam kondisi rusak, sebagian besar berada di luar wilayah perkotaan.

Persoalan ini diperparah dengan buruknya sistem drainase yang belum mampu menopang infrastruktur saat musim hujan. “Begitu rusak, lama diperbaiki. Padahal ini bukan jalan tol yang dilewati kendaraan berat. Ini jalan rakyat, yang seharusnya jadi prioritas utama,” tambahnya.

Apansyah menilai bahwa penganggaran infrastruktur semestinya dilakukan dengan prinsip keadilan wilayah. Tahun ini, Pemerintah Provinsi Kaltim mengalokasikan anggaran sebesar Rp2,6 triliun untuk pembangunan infrastruktur.

Namun, menurutnya, sebagian besar anggaran tersebut masih terkonsentrasi pada proyek-proyek besar yang berlokasi di kawasan perkotaan atau koridor ekonomi utama, seperti proyek Tol Samarinda-Bontang. “Tol Samarinda-Bontang penting, tapi jangan abaikan jalan penghubung antarkampung. Justru itu yang paling dirasakan warga sehari-hari,” ujarnya.

DPRD Kaltim, melalui Komisi III, mendorong adanya evaluasi menyeluruh terhadap pola pembangunan jalan yang selama ini dijalankan. Apansyah menekankan pentingnya pendekatan berbasis kebutuhan lokal agar pembangunan jalan tidak bersifat seragam, melainkan kontekstual sesuai dengan kondisi wilayah. “Kalau mau kemantapan jalan tembus 85 persen tahun ini, maka jangan lagi fokus di kota saja. Keadilan pembangunan itu dimulai dari pinggiran,” tegasnya.

Lebih lanjut, ia mengingatkan bahwa akses jalan bukan hanya berkaitan dengan konektivitas, tetapi juga menyangkut pelayanan dasar seperti distribusi bahan pangan, pendidikan, kesehatan, dan penggerak ekonomi lokal. Ketika jalan rusak dan sulit dilalui, maka seluruh aktivitas masyarakat pun turut terhambat.

Pemerintah provinsi diharapkan tidak semata melihat pembangunan infrastruktur sebagai pencapaian angka, melainkan sebagai instrumen pemerataan pembangunan. Apansyah juga menyinggung bahwa wilayah-wilayah yang tertinggal dalam hal akses justru menyimpan potensi sumber daya alam yang besar, yang bisa dimaksimalkan jika didukung infrastruktur yang memadai. Langkah evaluasi terhadap peta jalan provinsi, serta redistribusi anggaran secara adil dan proporsional, dinilai menjadi kunci agar pembangunan tidak hanya dinikmati oleh masyarakat perkotaan, tetapi juga dirasakan oleh warga di wilayah pedalaman dan terpencil. []

Penulis: Diyan Febrina Citra | Penyunting: Aulia Setyaningrum

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *